Bismillahirrahmanirrahim
Sepanjang perjalanan, Azkia terus saja menggerutu lantaran Azam juga membawa Daril—sepupu lelaki mereka.
“Pulangin aja sih, Bang, si Daril itu! Apaan sih, enggak mau gue—dia ikut!”
“Kok lo gitu sih sama gue, Kia?” Daril yang berjalan di samping Azam itu protes tak terima.
Azkia hanya meliriknya sinis tanpa berniat membalas.
“Enggak suka gue Bang sama dia.” Adu Azkia dengan suara yang sengaja dikeraskan.
“Kenapa sih, elah? Sesekali berbuat baik sama seseorang enggak apa-apa Dek, apalagi dia sepupu kita sendiri. Lo enggak kasian sama dia tuh—manusia enggak keurus?” Gurau Azam.
“Masalahnya, dia itu petakilan Bang, berisik banget sumpah!”
“Enggak sadar diri anjir.” Cibir Daril.
Azam terkekeh, “Biarin-lah Kia, biar rame.”
🍂
Di sisi lain, Nisa tengah menunjukkan beberapa koleksi gamis pada putrinya—Haina.
“Kamu mau pilih yang mana, Na? Ini bagus loh. Mau?”
Sedari tadi kebingungan Haina tak juga kunjung terjawab. Uminya itu selalu saja mengalihkan pertanyaannya.
“Na? Ayo pilih, itu ada banyak warnanya, modelnya. Kamu mau yang mana?”
“Buat apa sih, Umi? Dari tadi Nana nanya enggak Umi jawab.”
“Ya enggak apa-apa, beli aja. Siapa tau nanti ada acara mendadak atau apa gitu, jadi enggak repot harus nyari-nyari lagi.” Nisa memberikan jawaban yang kurang memuaskan untuk Haina.
“Baju Nana masih banyak Umi, masih bagus juga. Enggak usah beli-beli lagi Umi, masih ada.”
Nisa tak menggubris ucapan Haina, melainkan mengambil satu dress bewarna hijau mint dan menunjukkannya pada sang anak.
"Nih, mau yang ini?" tanya Nisa menunjukan dress tersebut.
Haina menggeleng, “Enggak Umi, terlalu berlebih motifnya.”
Nisa kembali menaruh baju yang tadi diambil kemudian menunjukkan yang lain, “Yaudah. Yang ini, gimana?”
Lagi-lagi Haina menggeleng, “Enggak ah Umi, Nana enggak suka.”
"Terus kamu mau yang mana, Sayang?" Nisa bertanya keinginan mode sang putri dengan sabar.
"Lagian buat apa sih Mi?"
Baiklah, sepertinya Nisa harus jujur. Ia menghela napasnya, “Buat lamaran kamu, nanti.”
Haina dibuat tercengang dengan ucapan ibunya, “Apa? Buat apa Umi?”
"Lamaran.” Jawaban Nisa terkesan cuek karena ia menjawab seraya memilih-milih baju lain.
Haina tersadar akan ucapan ibunya. Ia bergelayut manja pada tangan Nisa, “Umi ... 'kan masih lama. Lagian—”
Ucapannya terpotong saat sang umi menempelkan gamis berwarna pink lembut pada tubuh Haina.
“Bagus 'kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Masya Allah Zaujati || Cinta Dalam Doa [ END ] REPUBLISH
Random⭕ Tahap revisi❗ ****** Bagaimana rasanya, saat dijodohkan dengan orang yang selama lima tahun terakhir kita labuhkan dalam doa? Dan bagaimana pula, rasanya mencintai seseorang yang bahkan kita sendiri...