Zaujati//04

10K 747 5
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

🍂


Ceklek

Tiba-tiba pintu kamar Azkia terbuka. Sang empu yang tengah asik bermain ponsel lantas menoleh—memperhatikan wajah Azan yang tertekuk.

Sebenarnya dari beberapa hari lalu—sejak ia meminjam ponsel Azkia—Azam bingung, apa ia harus menanyakan hal itu atau tidak.

Tapi dirinya kalah dengan gejolak hatinya. Ia terlalu penasaran hingga nekat untuk bertanya.

“Kia.” Panggil Azkia.

Azkia menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa lo?” ia bertanya karena melihat wajah kakaknya yang terlihat gusar.

“Dek ....” Azam agak merengek.

“Dih? Apaan sih anjir? Jijik tau! Enggak usah manja-manja gitu sama gue!” Sarkasnya.

“Mau nanya.” Ujar Azam dengan bibir mempout.

“Mau nanya, ya nanya aja anjir, Bang? Geli tau, sumpah!”

Azam berdecak kasar, “Mau nanya nih gue!”

“Nanya kok sewot.”

Azam menghela napasnya. Percuma berdebat dengan adiknya—hanya buang-buang waktu.

Azam menunjukkan sebuah foto dari ponselnya — menunjukkan potret Azkia bersama gadis bercadar. “Ini siapa?”

Azkia menoleh dan terkejut, “Heh! Dapat dari mana lo fotonya?!”

“Kepo. Tinggal jawab aja itu siapa.”

Azkia menoyor kepala Azam, “Jawab dulu bego!”

“Mulut lo ya!” Azam spontan memukul pelan mulut Azkia hingga sang empu meringis.

“Sakit be—maaf iya, enggak sengaja. Lagian dapat dari mana lo fotonya?” Azkia kembali bertanya meski tadi sempat dapat pelototan dari Azam.

“Hape lo.”

“Dih? Sopan-kah begitu?!”

Azam kembali menghela napas. Bedanya, kali ini ia menyertakan senyum paksanya, “Azkia ... tolong jawab ya, kesabaran gue mulai abis ngadepin lo.”

Bukannya menjawab, Azkia malah menyandarkan punggungnya di kepala kasur seraya menatapnya dengan santai. “Atas dasar apa gue harus menjawab pertanyaan lo itu?”

Lagi-lagi Azam menghela napas, “Kita belanja nanti siang.”

Penawaran menarik. Azkia langsung menegakkan tubuh, “Sepuasnya?”

Azam hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Setuju!” ia langsung menyaut riang. Kesempatan untuk menguras harta abangnya tak datang dua kali—seringnya berkali-kali. Meski begitu, tetap saja harus tetap dimanfaatkan.

“Eh tapi, ngapain lo ngepoin dia? Suka ya?” Azkia mengulum senyumnya.

“Iy—enggak tuh.”

“Halah! Bilang aja, suka 'kan lo sama si Nana?” Azkia suka yang begini. Menyenangkan bisa menggoda Azam tentang perempuan.

“Jadi, namanya Nana?” gumam Azam yang tentu saja didengar oleh Azkia.

Azkia mengangguk riang, “Mau apa? Mau ngelamar ya?”

Azkia menarik bantal di belakang Azkia dan melemparnya pelan ke wajah sang adik. Kemudian ia langsung pergi tanpa berucap apa-apa lagi.

“Heh anjir! Bilang makasih kek, apa kek? Enggak tau diri banget asal nyelonong! Tutup lagi pintunya, Abang!”

Masya Allah Zaujati || Cinta Dalam Doa [ END ] REPUBLISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang