2. LUKA LAMA

23 8 9
                                    

Dengan langkah lebar, Nata memasuki halaman rumahnya dengan wajah yang berseri-seri. Membuka gerbang rumahnya pelan, tak lupa untuk menutupnya kembali.

Namun senyum itu luntur seketika saat ia sudah berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Matanya mulai berkaca-kaca ia sadar, bahwa ia sendiri tak memiliki apa itu yang mereka sebut rumah. Hanya bangunannya saja tapi tak ada makna rumah yang sesungguhnya.

Sungguh ia ingin seperti yang lain, memiliki mereka yang di sebut orang tua. Nata tak seberuntung anak anak lainnya, ia memang memiliki segudang bakat memiliki wajah yang hampir sempurna. Namun ia tak beruntung soal keluarga.

Baginya keluarga hanya untuk mereka yang bisa bahagia, dan Nata tak mungkin bisa ia yakin bahwa hidupnya memang untuk sendiri hidupnya memang akan selamanya seperti ini. Selalu sendiri dan kesepian, baginya ini lebih baik daripada harus mengulang kisah kelam dulu lagi.

Menarik nafas panjang, Nata mencoba ikhlas untuk semuanya. Hingga tanpa sadar ia mulai meneteskan air matanya, saat ia sadar Nata dengan senyum mirisnya menghapus kasar air mata sialan ini.

"Ayolah Nat, hidup lo bukan tentang mereka lagi, harusnya lo bahagia bisa lepas dari mereka. Lagian emang mereka inget sama lo? Nggak akan pernah Nat haha," Nata mulai mencari di mana terakhir kali ia meletakkan kunci rumahnya.

Oh sial Nata benar-benar lupa, ck ia memang ceroboh. Mencari di bawah pot-pot tanaman miliknya, di atas meja, di atas kursi, di dekat jendela, dan hasilnya nihil tidak ada. Mengacak rambutnya frustasi dia sama sekali tidak menemukannya.

Kring-kring

Suara lonceng sepeda itu membuat Nata melirik sinis pada pemilik sepeda tersebut. Nata benar-benar jengah melihat senyum menjengkelkan milik pemuda yang sedang duduk santai di sepeda miliknya.

"Nat nyari apa lo? Otak? Lo kan ngga punya," tanyanya dengan nada yang sangat-sangat menjengkelkan bagi Nata.

Tanpa menjawab pertanyaan pemuda gila tersebut, Nata kembali mencari-cari letak kunci rumahnya. Berjalan mondar-mandir bak setrikaan, namun sungguh ia benar-benar tak menemukannya. Entah lari kemana kunci rumahnya itu.

"Nat, lo ngga ada niatan minta bantuan sama gue gitu?" refleks tangan lentik Nata menampar pipi pemuda yang tengah mengagetkannya itu. Pemuda itu langsung meringis membuat Nata langsung mengusap pelan pipi pemuda tersebut.

"Gapapa dapet tamparan yang penting bisa di elus-elus sama my honey nat nat unch," gumam pemuda tersebut.

Melihat pemuda di hadapannya yang kini tengah senyum-senyum sendiri, Mengerutkan dahinya Nata mulai sadar apa yang tengah ia lakukan. "Ck modus lo, lagian lo ngapain tiba-tiba nongol di belakang gue. Kaya tuyul lo, lewat mana lagi lo,"

"Ya elah Nat, gua kan cuma niat bantu," gerutunya dengan bibir cemberut.

"Najis bangke, ngga ada kesan imut-imutnya lo begitu. Bukan bantu tapi lo itu nanti tambah nyusahin," Nata merotasikan kedua bola matanya. Menghiraukan pemuda tersebut Nata lagi-lagi berdecak saat tak menemuka kunci yang tengah ia cari.

"Lo harusnya bersyukur Nat, lo bisa di bantu sama cogan kaya gue. Noh banyak di luaran sana yang ngantri buat deket sama gue,"

"Dih, kepedean lo Samsul. Mereka ngantri buat bayar uang masuk toilet,"

"Lo pikir gue apaan Nat, gue yang kece gini di samain sama penjaga toilet. Dih ogah ya," pemuda tersebut menyugar rambutnya ke belakang, dengan kedua alis yang di naik turunkan.

"Iya kece kaya Castello,"

"Castello siapa Nat, artis luar negeri ya? Wuih ternyata gue sekece itu ya. Wah wah parah si baru nyadar," pemuda tersebut tengah membayangkan betapa tampannya ia, mengelus-elus dagunya dengan mendongakkan kepalanya ke atas. Seolah-olah apa yang dia bayangkan ada di atas kepalanya.

DEANNATA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang