19 | SCARS

3 3 0
                                    

"Dateng juga lo." Ilsa maju selangkah untuk semakin mendekat dengan Vana. "Gue pikir lo pengecut."

Vana hanya mengedikkan kedua bahunya. "Gue cuma iseng. Ternyata lo beneran nunggu disini."

"Lo bikin temen gue di skors. Sekarang gue juga mau bikin lo nggak masuk sekolah beberapa hari ini." Ilsa tersenyum menakutkan, meski tak cukup menakutkan bagi Vana.

"Paling lo mau mukulin gue, kan?"

"Nantang banget lo?" Ilsa maju lagi lalu dengan cepat menampar pipi kiri Vana. "Pegangin, dong," ujar Ilsa pada teman-temannya yang ternyata sudah berdiri dibelakang Vana.

Kedua tangan Vana sudah dicekal oleh dua orang yang berbeda. Ia kembali menatap Ilsa. "Keroyokan? Najis."

Sekarang pipi kanan Vana yang ditampar. "Bisa nggak, sih, lo diem aja?"

Vana tertawa remeh. "Emang ada orang yang dipukulin diem aja?"

Ilsa melayangkan kakinya ke perut Vana. Tendangan lemah karena kekuatan Ilsa memang lemah. Namun disusul dengan tendangan lain ke betis dan lutut belakang cewek itu.

"Pina, lo mau bales dendam?" tanya Ilsa pada temannya yang memegang salah satu tangan Vana.

Tentu cewek yang dipanggil namanya tadi senang. Ia bisa membalas Vana yang sudah membuatnya mendapatkan skors. "Mau mau."

"Yaudah sini biar gue pegangin-"

"Nggak usah dipegangin. Dia nggak bakal bisa lari dari gue," ujar Pina dan meminta temannya yang satu lagi untuk melepas pegangannya pada Vana.

Ilsa dan satu temannya itu mengangguk lalu sedikit menjauh. Pina tersenyum miring lalu memasang kuda-kuda seolah ia akan bertarung melawan Vana.

Vana mengernyit, lalu sebuah pukulan dilepaskan oleh Pina. Beruntung Vana masih bisa membaca gerakan tersebut dan segera menghindar. Namun sayang sebuah tendangan tiba-tiba yang mengincar pinggang Vana tidak dapat dihindari dan membuat cewek itu sedikit terhuyung.

Belum sempat berdiri sempurna, Pina kembali melayangkan pukulan ke pipi Vana dan sukses membuatnya terjatuh. Pina berjongkok lalu menarik rambut Vana. "Makanya nggak usah sok jadi pahlawan buat orang lain kalo lo sendiri lemah."

Pina menarik tubuh Vana agar berdiri lalu kembali memukul wajah Vana lalu dengan keras menendang kaki kiri Vana dan membuat cewek itu kembali terjatuh.

"Sa, gunting mana?" Pina mengulurkan tangannya pada Ilsa dan mengambil gunting kecil yang sepertinya memang sudah mereka persiapkan.

"Nggak usah sok cantik lo." Pina melepas ikat rambut yang Vana pakai lalu menarik rambutnya. "Enaknya dipotong seberapa, nih?"

Ilsa mendekat. "Lo nggak akan ngadu ke guru, kan, setelah ini? Oh, lagipula ini diluar tanggung jawab sekolah, kan, ya?"

"Tapi gue bisa laporin kalian ke polisi." Bukan Vana, bukan Pak Rogi yang khawatir juga.

"Lo lagi!?"

Arsel mengangguk lalu menunjukkan ponselnya yang sedang memutar video yang ia rekam tadi, lalu setelahnya kembali memasukkannya ke dalam saku. "Cuma masalah skorsing aja sampai kayak gitu? Norak tau nggak?"

"Bodoamat. Lo juga ngapain bisa sampai sini? Lo nguntit ya?"

Nggak perlu nguntit cuma untuk bisa ada disini.

"Kalo kalian nggak berhenti dan tetep terusin buat potong rambut dia, gue bakal langsung lari buat laporin kalian ke polisi," ujar Arsel yang sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Ilsa.

Ilsa menatap datar Arsel yang dianggap penganggu. "Mending balik. Gue rasa itu udah cukup buat dia nggak masuk sekolah besok." Lalu Ilsa berbalik meninggalkan mereka disusul kedua temannya tadi.

"Huu, cemen, sama polisi aja takut," ejek Arsel.

Ketika ketiganya sudah pergi, Vana mencoba mencari ponselnya di saku untuk menelpon Pak Rogi. Namun disana Arsel bisa melihat bahwa tangan Vana terlihat begitu gemetaran. Itu yang membuat Arsel perlahan berjalan kearahnya.

"Siapa suruh sok-sokan nantang mereka. Untung gue tadi sempet denger ucapan Ilsa yang minta lo dateng kesini tadi. Bangun lo." Vana bergeming, tidak berniat merespon ucapan Arsel barusan.

Ponsel Vana sempat jatuh dan Arsel segera merebutnya sebelum Vana kembali mengambilnya. "Sini gue anter aja. Lo bawa mobil atau apa?"

Vana masih belum menjawab. Membuat Arsel sedikit panik. "Eh, lo nggak pingsan, kan? Bisa berdiri?"

Akhirnya sebuah anggukan yang Arsel tidak mengerti artinya menjadi jawaban pertama Vana. Arsel memegang pundak Vana dan melihat dengan jelas beberapa memar di wajah cewek itu.

"Lo bawa mobil?"

"Sama sopir," jawab Vana pelan.

"Oke, gue anter ke mobil lo." Lalu tanpa aba-aba Arsel membopong tubuh Vana yang sama sekali tidak menolak.

Sesampainya di parkiran, tentu saja Arsel sudah tahu yang mana mobil Vana karena tidak banyak mobil terparkir disana. Ditambah Pak Rogi yang menunggu diluar mobil terlihat menatap Arsel tajam ketika mengetahui cowok itu sedang membawa Vana.

"Kenapa ini? Kenapa Non Vana bisa begini?" tanya Pak Rogi dengan suara yang cukup mengintimidasi.

"Begini, Pak. Tadi Vana dikeroyok sama cewek-cewek yang bikin masalah di sekolah, Pak. Untung saya cepet dateng," jawab Arsel jujur.

"Astaga, Non. Begitu?" Vana mengangguk menjawab pertanyaan Pak Rogi. "Yaudah tolong bawa ke mobil."

Arsel mengangguk lalu mendudukkan Vana di kursi belakang setelah Pak Rogi membukakan pintu mobil. "Yaudah, Pak. Saya pamit."

Pak Rogi mengangguk lalu dengan cepat masuk ke kursi kemudi. "Non, perlu ke rumah sakit?"

Vana menggeleng. "Telfon Vian aja," ujarnya.

"Baik, Non."

.

"Kok bisa gini, sih, Van?" geram Vian yang ternyata sudah lebih dulu sampai di rumah Vana. "Bisa jalan sendiri?"

Vana mengangguk pelan. "Bisa, Vi. Gue nggak lumpuh."

Meski begitu, Vian tetap mengekori Vana dan memegang kedua pundak cewek itu, berjaga-jaga kalau misal Vana terjatuh tiba-tiba. Vian baru melepaskan pegangannya setelah memastikan Vana sudah duduk di sofa. Ia lalu kembali berlari kecil untuk mengambil air hangat.

"Lo tuh kenapa, sih, Van? Suka banget cari masalah?" omel Vian sambil meletakkan baskom berisi air hangat dan membuka kotak obat di pangkuannya.

Vana memilih diam sementara Vian mulai mengompres beberapa luka lebam yang ada di wajah cewek itu. Vian tidak bisa bohong bahwa ia sangat panik ketika Pak Rogi menelponnya tadi. Beruntung ia tadi sedang berkumpul bersama teman-temannya di tempat yang tidak jauh dari rumah Vana.

"Vian," panggil Vana dan membuat Vian menghentikan gerakan tangannya sebentar untuk menatap cewek itu.

"Kenapa?"

"Lo udah nggak marah sama gue?"

Vian terdiam. Benar juga. Seharusnya ia masih marah pada Vana karena masalah balapan malam itu. Tapi ternyata rasa khawatirnya jauh melebihi itu semua.

"Ada luka yang lain?" Tanpa menunggu jawaban Vana, Vian langsung menarik kedua telapak tangan Vana dan mengecek apakah ada memar lain disana.

Vian menghela napas panjang mendapati telapak tangan yang lecet dan kotor. Ia yakin, Vana tadi pasti sempat tersungkur. Tanpa bicara lagi, Vian langsung membersihkannya dan menempelkan sebuah plester bermotif bunga lavender disana.

"Vi, udah. Bantuin gue ke kamar aja," ujar Vana.

"Besok lo nggak usah sekolah dulu."

.
.
.

17 Desember 2021.

HEART CRASHER; VanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang