"Undangan buat lo."
Vana mengamati undangan yang sekarang ada di tangannya lalu mengangguk kecil. "Gue bakal dateng."
"Gue tau. Makanya gue juga undang Liora sama Cikal biar lo ada temennya."
"Emang nggak semuanya lo undang?" tanya Vana.
Kenan tertawa kecil sambil menggeleng. "Nggak, lah. Lagipula sebenernya gue nggak pengen bikin party kayak gini, cuma nurutin kemauan Mama aja."
"Mama lo perhatian banget."
"Mau gimana lagi. Mama selalu takut nggak bisa jadi single parent yang baik, padahal pasti dia juga udah stres cari uang." Suara Kenan mengecil, ia mengalihkan pandangannya.
"Sorry to hear that, tapi dia juga pasti bangga anaknya kayak lo."
Kenan tersenyum lalu mengangkat wajahnya. "Dulu gue nggak pernah mikir bakal denger lo bilang kayak gitu. Makasih udah biarin gue kenal sama lo."
Vana terdiam. Benarkah ia membiarkannya begitu saja? Cewek itu kembali menatap undangan di tangannya meski yang ia pikirkan adalah hal lain. Bukannya Kenan memang sudah mencuri perhatiannya bahkan sejak hari pertama MOS? Itu hal yang wajar, bukan?
"Oh, ya. Dresscode-nya putih, kali aja lo males baca," ujar Kenan. Ia sedikit menyesal karena apa yang ia katakan sebelumnya sepertinya membuat Vana kurang nyaman.
Vana justru tersenyum tipis. "Lo pinter banget ngalihin perhatian. Gue rasa kita cocok."
Kenan hampir saja merasa tinggi kalau ia tidak segera menyimpulkan ucapan Vana barusan adalah tentang olimpiade itu. "Sebagai partner? Lo jangan sering bikin gue GR, Van."
"Sering? Kapan?"
"Selalu," jawab Kenan. "Bahkan bisa ngobrol santai sama lo gini aja udah bikin gue GR."
Bel jam pertama berbunyi, memaksa mereka berdua untuk menyelesaikan pembicaraan mereka.
"Sorry, lo jadi belum bagiin undangan ke yang lainnya," ujar Vana.
"Oh, enggak, kok. Emang baru mau kasih ke lo doang. Yang lain mau gue bagi pas jam istirahat kalo nggak pulang sekolah."
"Kenapa gitu?" tanya cewek itu.
"'Cause you are special."
❄️
"Lo nggak usah nyusahin orang lain gitu bisa nggak, sih?" Raven meletakkan plastik berisi bubur ayam dan beberapa obat di nakas adik angkatnya.
"Maaf, bang. Harusnya gue masih bisa cari makan sendiri." Arsel mendudukkan dirinya dengan selimut masih menutupi setengah tubuhnya.
"Makan jangan di tempat tidur! Kalo kotor nanti yang repot Mama. Kecuali kalo lo mau cepetan bersihin sendiri. Gue mau beliin lo makan juga karena Mama sama Papa yang maksa gue."
Arsel mencoba untuk tidak sakit hati dengan ucapan cowok yang statusnya adalah kakak angkatnya ini. Bagaimanapun juga memang ia yang harus mengalah. Arsel menyibakkan selimutnya dan menurunkan kedua kakinya. Raven lalu meninggalkannya setelah memastikan cowok itu akan turun untuk makan.
Arsel drop setelah pergi dengan Vana kemarin. Ia tidak bisa bersikap seolah ia tidak kecewa dengan cewek itu kemarin. Meski ia tidak tau mengapa Vana sangat berubah, harusnya cewek itu tidak mungkin melupakannya, kan? Kepalanya penuh dengan emosi negatif dan membuatnya semakin pusing.
"Ar? Kamu udah makan?" Mamanya yang baru saja membuka pintu kamar Arsel sempat melihat wajah cowok itu terlihat seperti menahan amarah.
"Kamu kenapa? Ada yang ganggu pikiran kamu?" Tanya wanita itu lembut sambil duduk di ranjang Arsel.
"Nggak, Ma."
"Duh, kamu nggak bisa bohong sama Mama. Mama tuh kenal banget sama kamu, yang nggak mungkin sampai tiba-tiba drop kayak gini kalau nggak ada apa-apa." Rara mengusap rambut Arsel pelan.
"Kenapa bisa, Ma? Sedangkan aku 'kan bukan anak kandung Mama?"
Wanita itu memejamkan matanya sebentar, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba memaksa keluar. "Jangan ngomong gitu, dong. Mama sakit hati setiap denger kamu bilang gitu."
Arsel merasa bersalah mendengar suara Mamanya yang tercekat dan mata yang berkedip cepat agar setetespun air matanya tidak jatuh. "Maaf, Ma."
Kamu juga anak Mama, Ar. Anak kandung Mama. Kapan Mama bisa ngomong soal itu?
"Nggak papa. Mending makan dulu, ya? Biar kamu bisa minum obat, terus cepet sembuh."
Arsel mengangguk. Rara lalu mengambil bungkusan di nakas dan memberikannya pada cowok itu.
"Aku makan di meja aja, Ma."
Rara menahan tangan Arsel yang hendak berdiri. "Nggak usah. Makan disini dulu aja."
"Di meja aja. Takut kotor."
"Ar, kamu nggak usah dengen kata Abang. Kamu masih sakit, loh. Mama nggak mau kamu jatuh pas turun tangga." Wanita itu mengusap punggung Arsel.
"Aku udah mendingan, Ma. Ayo ke meja makan aja."
Rara tersenyum tipis. "Yaudah ayo Mama temenin."
❄️
Pelajaran Bahsa Inggris di jam pelajaran terakhir benar-benar membosankan. Tidak banyak siswa yang mendengarkan guru yang hanya duduk di kursi guru sambil seolah sedang mendongeng dengan bahasa alien itu.
Bahkan Vana bisa membalas chat Vian yang mengatakan bahwa cowok itu sudah ada di depan sekolah Vana dengan motor kesayangannya.
"Bosen banget, deh. Sepuluh menit tuh lama nggak, sih?" Liora mendelik kesal ke arah meja guru.
Vana sama sekali tidak mendengar ocehan Liora, apalagi gurunya. Hanya saja ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, membuatnya sedikit gelisah.
Guru di depan menghela napas berat. "Class, close your book. Kita siap-siap pulang aja. Saya tinggal, jangan ada yang keluar kelas sebelum bel pulang berbunyi. See you next class."
Seketika kelas sedikit heboh seolah baru saja dibebaskan dari kurungan. Termasuk Liora yang wajahnya langsung sumringah mendengar itu.
"Gila, guru kita baik banget."
"Dibilang jangan keluar dulu, dipikir kelas kita bakal nurut?" Vana menatap siswa yang mulai keluar dari kelas dengan tas di pundak. Padahal bel pulang sekolah tinggal dua menit lagi.
"Nggak usah sensi gitu, deh. Pms lo?" Liora memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Enggak."
"Terus? Btw lo makin deket aja kayaknya sama Kenan. Suka lo sama dia?" tanya Liora.
Kali ini Vana menoleh. "Emang boleh?"
"Why not, anjir! Jangan-jangan lo daritadi kepikiran soal itu?"
"Ih, jangan mikirin cowok terus." Cikal tiba-tiba ada di depan mejaa mereka. "Siapa tau ada cowok lain yang mikirin dia."
Liora refleks mencubit pipi Cikal. "Lo bisa nggak, sih, nggak usah bahas yang kayak gituan."
"Emang kenapa, sih? Kan nggak ada yang tau juga."
"Lo berdua mau pulang, atau tetep disini? Barusan bel udah bunyi," potong Vana.
.
.
.
4 Juni 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART CRASHER; Vana
Novela JuvenilAuva Nada Aldinata; salah satu cewek yang sering disebut sebagai 'Heart Crasher' oleh sebagian besar siswa-siswi sekolahnya. . "Lo mau nembak gue?" tuding Vana. Kedua alis Kenan menyatu. "Lo berfikir begitu?" "Iya." Hampir saja Kenan tertawa kalau...