Vana sedikit terkejut melihat kedua orangtuanya yang sudah duduk di ruang makan sambil mengobrol ringan sementara menunggu Vana datang.
"Ma? Pa?" panggil Vana yang membuat keduanya menoleh.
"Loh, udah mau masuk sekolah? Nggak istirahat dulu aja?" tanya Sava ketika mendapati putrinya sudah duduk di depannya.
"Kalian kapan dateng?" Bukannya menjawab, Vana justru mengalihkan pembicaraan.
"Semalam. Kamu udah tidur. Vian bilang ada yang ganggu kamu, ya? Teman sekolah?" Nata tidak mengalihkan pandangannya dari piring ketika menanyakan hal itu.
"Kakak kelas. Soalnya aku sempat laporin salah satu dari mereka ke BK sampai harus di-skors," terang Vana sambil mendekatkan piring yang sudah Sava isi dengan nasi goreng.
"Emangnya dia ngapain, Van?" tanya Nata lagi.
"Dia nge-bully salah satu siswa. Aku yang kebetulan liat itu langsung laporin ke BK."
Nata mengangguk beberapa kali sedangkan Sava terlihat sedikit was-was, mencoba menebak reaksi yang akan diberikan oleh suaminya itu.
"Lain kali biarin aja. Itu bukan urusan kita, Vana." Kali ini Nata menatap kedua manik putrinya itu. Mencoba menanamkan prinsip yang baru saja ia katakan.
"Tapi itu pembully-an, Pa. Korbannya bisa jadi siapa aja. Dan bisa juga itu terjadi ke aku sendiri, Pa. Bayangin kalau aku ada di posisi itu dan nggak ada orang yang mau nolong," ujar Vana tegas. Ayah-anak itu sepertinya sedang terlibat perang mata.
"Pa, Van, sarapan aja dulu. Pagi-pagi jangan adu mulut, apalagi di depan makanan." Ucapan Sava ternyata cukup untuk membuat mereka berdua melonggarkan tatapan mata mereka.
"Papa hanya nggak mau kamu terluka lagi, Vana," lirih Nata yang sebenarnya terdengar oleh Vana. Namun gadis itu memilih untuk mengabaikannya.
Sarapan pagi ini jadi terasa aneh. Meski memang Vana maupun Nata jarang berbicara, Sava bisa merasakan aura yang sangat tidak mengenakkan disana.
"Vana, kamu mau diantar Papa sama Mama?" tanya Sava ketika melihat gelagat Vana yang ingin menyudahi sarapannya.
"Aku bukan anak kecil, Ma. Aku—"
"Kalau begitu biar Papa sendiri yang antar. Ada yang mau Papa omongin sama kamu, Van." Perkataan Nata seolah tak bisa dibantah. Membuat Vana mau tidak mau harus mengangguk.
"Kalo gitu, aku mau berangkat sekarang, Pa."
Nata mengangguk lalu meminum air putihnya sebelum berdiri. "Yaudah, ayo. Aku pamit, Ma."
"Aku juga pamit, Ma," ujar Vana lalu mencium punggung tangan Sava.
"Hati-hati." Hanya itu yang bisa Sava ucapkan sambil melambai kecil pada Nata dan Vana sementara keduanya semakin menjauh. Bahkan Sava tidak mengerti apa yang akan Nata bahas dengan Vana.
Vana duduk disamping Papanya. Meski bukan yang pertama kali, tapi ini tetap saja membuat Vana canggung. Cewek itu membuka tasnya, mencoba mengecek lagi barang-barang yang ia bawa.
"Jadi, apa ada hal terbaru tentang kamu yang belum Papa tahu?"
Vana mengerjap karena tidak siap dengan pertanyaan tiba-tiba itu. "Kemarin aku udah bilang ke Mama kalau aku mau ikut olimpiade matematika."
"Soal itu Papa udah tau." Nata kemudian diam, seolah menunggu ucapan Vana yang lain. Namun menyadari bahwa Vana tidak tertarik untuk mengatakan hal lain, Nata menoleh.
"Kata Vian, kamu udah naksir sama cowok, ya?"
Detik itu juga wajah Vana memerah. Bisa-bisanya Vian memilih untuk menceritakan hal itu daripada hal lain. Tidak ingin menjawab, Vana memilih untuk mengalihkan pandangannya keluar jendela, membuat Nata terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART CRASHER; Vana
Teen FictionAuva Nada Aldinata; salah satu cewek yang sering disebut sebagai 'Heart Crasher' oleh sebagian besar siswa-siswi sekolahnya. . "Lo mau nembak gue?" tuding Vana. Kedua alis Kenan menyatu. "Lo berfikir begitu?" "Iya." Hampir saja Kenan tertawa kalau...