1!

2.9K 90 7
                                    

Meyska Faurin Veesca
Jakarta, 06 Februari 2013

Ketika kulihat semua orang menatapku pucat. Tak ada suara tapi semua bergerak. Berjalan di tengah keramaian tak bersuara. Semua berbeda.

"Kau perlu tidur yang cukup. Kau sangat lelah."

Sudah berulang kali aku mendengar kata-kata itu. Muak. Apa yang lelah?

"Aku tidak lelah. Duduk saja pun tak kan mempengaruhi keadaan." Jawabku sambil membolak-balik majalah remaja. Kutemukan itu dibawah bantal hotel.

"Sekalipun itu, kau tetap harus tidur. Perjalanan yang cukup jauh menguras energimu. Tidurlah." Kali ini aku sudah muak. Apa mau dia?

"Yeay, tapi kuminta tinggalkan aku disini. Sendiri. Aku akan istirahat." Suruhku tak peduli makhluk menyebalkan itu menatapku datar.

Aku sudah tak tahan dengan kehidupanku sekarang. Semua seperti tak setuju denganku. Hanya pendapat merekalah yang harus dipatuhi. Hanya merekalah yang boleh menjadi 'sutradara'nya.

Aku rebahkan tubuhku di kasur. Empuk. Nyaman. Aku bisa merasakan hawa air conditioner menerpa tubuhku. Kupejamkan mataku dan membiarkan ponselku yang terus berbunyi.

...

Alarm berbunyi. Bunyi kedua.

Tak pernah semalas ini aku bangun di pagi hari. Kuraba sekitarku dan kudapat alarm yang maaih berbunyi. Kubuka mata dan jarum jam menunjukkan pukul 08.13. Sial, sudah satu jam aku biarkan alarm ini berbunyi.

"Hhoooaaammm," kurenggangkan tubuhku dan berjalan menuju jendela. Sekarang aku lagi di hotel bintang lima dibilangan Jakarta. Kulihat lalu lintas kendaraan memenuhi jalan. Banyak pejalan kaki yang harus mengalah dengan pengendara motor. Tanpa kusadari dibelakangku sudah ada Steve, kekasih khayalanku. Kami sudah lama hidup bersama. Kami berbeda dunia. Dia tewas tanpa ada kekasih. Dan aku bersedia menjadi kekasihnya. Dia selalu bersamaku selama ia tak ada kegiatan di  dunianya. Aku pernah ikut ke dunianya dan disana ia punya rumah yang sangat besar. Dan disana, semuanya indah.

"Kenapa kau begitu lesu, Meysca?" Tanya Steve yang sibuk memotong rumput.

"Tidak apa-apa, aku hanya kurang istirahat. Mungkin saja aku harus tidur sekarang." Jawabku yang diakhiri senyum tipis.

"Di rumahku banyak kamar yang kosong. Kau bisa pilih yang mana saja. Kau mau tidur di kamarku pun boleh."

"Baiklah!"

Banyak sekali hal yang tak bisa kulihat disini-dan tak ada dunia nyata. Barusaja kulihat seorang pemuda berulang kali menancapkan pisau dikepalanya, juga seorang anak kecil berlari sambil membawa sebuah jenazah.

Tanpa ku perintah pintu terbuka dan aku memasuki ruangan yang penuh dengan roh yang berkeliaran. Mereka bersahabat. Steve memelihara mereka untuk dijadikan penjaga rumah. Tak sengaja aku menginjak kepala yang bergelinding seperti bola. Aku menaiki tangga dan disana sudah ada seorang wanita memakai baju kebangsawan Belanda yang sudah penuh darah dan memegang payung lusuh. Dia tersenyum kepadaku dan mulai bernyanyi-entah lagu apa itu. Dia bernyanyi untukku. Kulihat juga pria paruh  baya berjalan dengan satu kaki. Dan yang membuatku hampir muntah adalah ia sedang memakan kaki satunya.

Aku sudah sampai di kamar Steve dan disana tidak ada siapa-siapa. Kamarnya luas dan aku bisa lihat sebuah kepala tergantung di langit-langit kamar. Wajah yang sungguh cantik. Aku rebahkan tubuhku dan kurasakan sesuatu yang nyaman menyertaiku. Aku bisa merasakan ada yang mendekat dan kulihat Steve sudah datang dan membawakanku segelas cairan kental berwarna merah. Amis. Darah

"Kau mau ini?" Tawar Steve sambil menyodorkan segelas darah kepadaku.

"Mau." Aku menerimanya dan kemudian meneguknya sampai habis.

"Aku baru tahu ternyata rasa darah itu enak. Aku jadi ingin lagi." Ujarku manja.

"Dibawah aku baru saja membawa mayat. Masih banyak darahnya yang tersisa. Minumlah sepuasnya."

"Baiklah. Aku akan kesana!"

Are You An Indigo?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang