Dengan rapi dan hati-hati, Gerry menempelkan denah kelas di atas meja guru menggunakan selotip transparan. Ia membuat denah itu tadi malam lalu segera mencetak serta melaminatingnya.
Setelah selesai menempelkan denah kelas di meja guru, Gerry beralih ke salah satu sisi dinding yang ada di dekat pintu untuk menempelkan jadwal piket. Setelah beres, ia pun berbalik.
"Astaghfirullah!" pekik Gerry tertahan saat ia berbalik dan terkejut akan kehadiran Dewi yang ternyata berdiri amat dekat dengannya, entah sejak kapan. "Ngagetin aja!"
"Kamu kenapa bikin aku piket di hari Senin terus, sih?" protes Dewi sembari melirik ke arah jadwal piket kebersihan yang telah tertempel.
"Aku bikin jadwalnya ngikut tahun-tahun sebelumnya aja, ngapain susah-susah nyusun lagi," balas Gerry. "Ini udah pas sesuai absen."
"Halah, bilang aja kamu cari aman." Dewi memandangnya tak suka. "Mentang-mentang namamu dari huruf G."
"Kamu ini kenapa, toh, Wi?" Gerry berdecak. "Piket seminggu sekali aja, apa susahnya?"
"Bukan gitu! Hari Senin, tuh, hari yang sibuk!" Dewi tak mau kalah. "Belum lagi mau upacara bendera."
"Halah, semua hari sama aja!" balas Gerry, menirukan nada Dewi sebelumnya. "Intinya emang kamu yang males, tau!"
Dewi menghentakkan satu kakinya dengan keras sebagai ekspresi kesal. Tanpa bicara lagi, ia berlalu dari hadapan Gerry, menuju ke tempat duduknya.
"Mat, PR matematika yang dikasih Pak Piter kemarin, kamu udah selesai?" tanya Haikal saat Mamat baru datang, bahkan belum sempat duduk.
"Udah." Mamat mengangguk sembari melepaskan ransel kain di punggungnya yang berwarna abu-abu.
"Aku liat, boleh, ya?" pinta Haikal sambil tersenyum menampakkan gigi.
Ekspresi Mamat yang tadinya ceria mendadak berubah agak kesal.
"Kamu kenapa gak mau usaha kerjain sendiri, sih?" keluh Mamat.
"Udah, Mat, tapi susah banget. Aku gak ngerti sama sekali." Haikal menggeleng dengan ekspresi pasrah. "Aku udah cari di brainly, tapi gak ada juga."
Mamat memutar mata. "Malah ngandelin brainly."
"Please, Mat ... aku mohon kali inii aja, yo?" Haikal menyatukan kedua telapak tangannya.
Mamat mendengkus, tetapi ia pertahanannya terlalu lemah hingga merasa tak tega.
"Ya udah," ucap Mamat akhirnya. Ia mengeluarkan buku PR matematika dari ranselnya lalu meletakkan buku itu di atas meja Haikal.
Haikal senang bukan main. Sesegera mungkin ia menyalin jawaban Mamat dari nomor satu hingga sepuluh, bahkan tanpa mempertanyakan lagi apakah jawaban itu sudah tepat, bagaimana datangnya, atau mengapa harus ada koma.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATCHA
Teen FictionSudah dua tahun Erisha Fayza melalui masa SMA. Namun, ia sibuk tenggelam dalam dunianya sendiri hingga enggan menghiraukan sekitar. Begitu juga dengan Muhammad Akbar Oktavian yang tak lain adalah teman sekelasnya. Satu hal yang tak mereka ketahui, a...