Bab 10: Adik Kesayangan

11 3 3
                                    

Dengan mengenakan hijab pastan berwarna merah muda, Echa melangkah ke rumah Dewi sore itu. Jarak rumah mereka hanya kurang dari seratus meter.

Angin sore sehabis hujan menerpa Echa, membuat ujung hijabnya melambai seperti dedaunan pohon saat tertiup angin. Echa jarang mengenakan hijab atau semacamnya, bahkan saat di sekolah. Namun sore ini, ia harus berpakaian amat sopan, sebab ia akan pergi ke sebuah madrasah yang tak lain adalah madrasah milik keluarganya.

Echa membawa kantong plastik ukuran besar yang telah diisi kue-kue kering dalam toples plastik. Kue-kue itu sengaja dibuat oleh ibunya untuk diberikan pada sekelompok santri yang sedang latihan untuk mengikuti lomba kasidah beberapa minggu lagi.

"Assalamualaikum!" Echa sedikit melirik ke dalam pintu rumah Dewi yang terbuka lebar, tetapi tak terlihat siapa-siapa. Padahal di depan rumah Dewi terlihat banyak sandal dan sepatu pria berjejer.

"Assalamualaikum!" ulang Echa.

"Waalaikumsalam!" sahut suara lelaki yang tak lama kemudian muncul.

Echa mengenalinya, kakak tertua Dewi.

"Mas Reno." Echa tersenyum pada lelaki yang seingatnya berusia 25 tahun itu. "Dewi ada, Mas? Mau minta tolong anterin ke madrasah."

"Oh, ada itu di dalem lagi main PS. Bentar tak panggilin, yo."

Echa mengangguk dan Mas Reno kembali masuk ke dalam. Tak lama setelahnya, Dewi muncul. Ia memakai kaus oblong biru yang warnanya mulai pudar serta celana olahraga yang bertuliskan nama sekolah salah satu kakaknya.

"Eh, bentar, kata Mas Reno, kamu mau minta anter ke madrasah?" Dewi memastikan.

"Iya—"

"Waduh, ya aku gak mungkin ke sana pake baju begini." Dewi geleng-geleng lalu melangkah cepat masuk ke dalam. "Aku ganti baju dulu, deh!"

Setelah beberapa saat Dewi kembali ke dalam, Echa hanya tetap di depan pintu. Ia merasa segan untuk masuk ke dalam karena sepertinya banyak kakak-kakak Dewi yang sedang di dalam, semuanya lelaki.

"Lho, Echa?" Seorang wanita muncul dari samping rumah. Rambutnya sudah memutih hampir semuanya. Tangan kanannya memakai sarung tangan yang kotor oleh tanah sementara tangan kirinya memegang sekop kecil khusus berkebun. "Udah lama?"

"Belum kok, Bude." Echa tersenyum sembari menunduk singkat. "Lagi berkebun ya, Bude?"

"Iya, nih. Udah lama gak diperhatiin taneman-tanemannya." Bude yang tak lain adalah ibunda Dewi itu kini mengerling ke barisan tanaman hias yang Echa tahu harganya mahal. "Akhir-akhir ini sibuk terus di tempat praktek, hari ini mumpung gak ada jadwal ketemu pasien, istirahat bentar."

Echa mengangguk paham.

"Masuk sana, ini kayaknya mulai gerimis lagi," lanjut ibu Dewi.

"Cha! Masuk aja dulu!" Terdengar pula suara Dewi melalui jendela kamar yang berada di depan.

"Eh, i-iya." Dengan langkah pelan Echa masuk ke dalam dan segera duduk di salah satu kursi ruang tamu.

Dari tempatnya duduk, Echa bisa melihat ke ruang tengah di mana terdapat tiga laki-laki yang tampaknya sedang bermain PS dengan balap motor sebagai permainannya. Echa kenal mereka semua, tak lain adalah kakak-kakak Dewi.

"Yes! Menang lagi!" seru salah satu dari mereka, membuat Echa sedikit kaget.

"Halah, baru menang tiga kali aja udah heboh kamu, Ki," cibir Mas Reno.

"Ahaha! Bilang aja Mas iri." Pemuda yang dikenali Echa sebagai Mas Rizki—kakak ketiga Dewi—itu tertawa dengan bangga. "Inget, lho, sesuai perjanjian awal sebelum main. Yang menang ditraktir di Legend Coffee!"

MATCHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang