Fisika dengan Bu Ema yang seharusnya dua jam pelajaran disela oleh jam istirahat. Namun saat bel tanda istirahat baru saja berbunyi, seseorang menghampiri Ayunda, memberitahunya bahwa ia dipanggil ke Ruang Rapat 2 oleh Ketua Dewan Ambalan.
Seperti namanya, Ruang Rapat 2 merupakan ruangan yang digunakan khusus untuk kegiatan rapat dan semacamnya. Kapasitas ruangan itu hanya sampai 30 orang saja. Berbeda dengan Ruang Rapat 1 yang lebih luas dan berkapasitas hingga 100 orang.
Ayunda menghela napas panjang sembari merapikan rambutnya—yang dikucir dengan ikat rambut warna abu-abu. Ia tahu betul, dirinya pasti dipanggil untuk 'disidang' atas kejadian yang terjadi antara ia dan Dafi kemarin.
Dengan ekspresi datar, Ayunda memasuki ruangan itu. Sepi, hanya terlihat seorang kakak pembina, seorang Ketua Dewan Ambalan, dan dua orang dari divisi Pemangku Adat di Dewan Ambalan. Posisi Ayunda sendiri juga sebenarnya termasuk anggota dewan itu. Ia seorang kerani alias sekretaris.
Tak lama setelah Ayunda tiba, Dafi juga datang.
Ternyata itu bukan sidang, melainkan teguran untuk Ayunda dan Dafi agar mereka tak mengulangi kesalahan yang sama—berkelahi secara terang-terangan hingga melibatkan fisik—seperti kemarin.
"Baik, sekarang kalian berdua silakan bersalaman sebagai tanda bahwa kalian sudah berdamai dan akan tetap menjadi teman baik." Seorang Pemangku Adat memandang Ayunda dan Dafi bergantian.
Dafi mengulurkan tangannya lebih dulu. Ayunda memandangnya selama beberapa saat. Pemuda itu membentuk senyum tipis di wajahnya, tetapi bukan jenis senyum yang tulus layaknya tanda persahabatan.
Ayunda menjabat tangan Dafi dengan cepat lalu pergi dari ruangan itu tanpa kata. Ia tahu satu hal: ia tak akan pernah menganggap mereka berbaikan.
Langkah kaki Ayunda langsung menuju kantin. Di sana, ia melihat beberapa teman-teman dekatnya—gadis-gadis yang bergabung dalam pramuka—telah duduk menikmati makanan dan minuman mereka. Ia pun langsung bergabung dan menceritakan mengenai teguran yang baru saja diterimanya.
"Lagian kamu kenapa sampe gelut sama Dafi gitu, sih?" tanya salah satu dari mereka setelah Ayunda selesai bercerita.
"Aku kesel sama dia." Ayunda menopang dagu. Pandangannya menerawang, membayangkan kejadian kemarin sore yang amat segar dalam ingatan.
Saat itu, mereka semua tengah sibuk berbaris. Ayunda berada tepat di belakang Dafi.
"Berapa bulan lagi pemilu OSIS, ya?" Dafi terlihat bicara dengan siswa di sebelah, Agus yang juga adalah teman sekelasnya.
"Gak tau. Kenapa? Kamu mau daftar?" balas Agus.
"Udah kelas dua belas, ya udah gak bisa." Dafi terkekeh. "Eh, tapi aku jadi inget, deh. Dulu, pas Ayunda daftar jadi ketua OSIS. Kamu inget?"
Agus ikut terkekeh. "Inget, lah! Dua kali daftar, dua kali kalah."
Ayunda tertegun. Ia tepat di belakang mereka tetapi tampaknya mereka tak menyadari hingga berani membicarakan bahkan menertawainya seperti itu.
"Sok-sokan," lanjut Dafi. "Perempuan tapi kebanyakan tingkah."
"Maksud lo apa?"
Dafi membulatkan mata saat ia mendengar suara menyahut dari belakang. Ia menoleh dan dilihatnya Ayunda dengan ekspresi yang amat kesal. "E-eh ... Ayunda—"
"Lo bilang gua kebanyakan tingkah?!" Ayunda melangkah maju lalu menarik kerah seragam pramuka Dafi. "Lo ngetawain gua karena kalah pemilu OSIS dua kali?!"
"Ya emang bener, toh?" balas Dafi. Ia merasa tak ingin tampak lemah dan takut pada Ayunda.
Sayangnya, reaksi Dafi semakin membuat Ayunda panas dan geram. Hal itulah yang kemudian berujung pada perkelahian mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATCHA
Fiksi RemajaSudah dua tahun Erisha Fayza melalui masa SMA. Namun, ia sibuk tenggelam dalam dunianya sendiri hingga enggan menghiraukan sekitar. Begitu juga dengan Muhammad Akbar Oktavian yang tak lain adalah teman sekelasnya. Satu hal yang tak mereka ketahui, a...