Bab 14: Masih Banyak Ikan di Laut

4 1 4
                                    


Haikal telah bersiap dengan pakaian yang rapi, rambut klimis, serta parfum yang disemprot di sana-sini. Malam favoritnya, malam Minggu. Ia sudah berjanji akan mengajak Tiara—adik kelas yang baru beberapa minggu dipacarinya—untuk menonton bioskop.

Dikeluarkannya motor bebek dari garasi. Bukan motor yang biasa ia bawa ke sekolah yang kap lampunya bergetar setiap diajak melaju, motor bebek yang satu ini agak lebih bagus karena jarang dipakai. Biasanya memang hanya untuk malam Mingguan Haikal atau pergi ke tempat yang lebih jauh. Merknya sama, tetapi model dan tahunnya lebih tinggi.

"Kamu cantik banget, Ra," puji Haikal saat tiba di depan rumah Tiara dan gadis itu ternyata sudah siap.

"Makasih. Mas Ikal juga ganteng," balas Tiara, membuat senyum Haikal terkembang. Belum pernah ia punya pacar yang memujinya secara terang-terangan tanpa malu-malu.

Itu salah satu hal yang disukai Haikal dari Tiara. Gadis itu tidak kebanyakan memberi kode. Ia akan mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Itu memudahkan Haikal dalam masa pendekatan hingga pacaran. Dan untuk gadis seusia Tiara yang masih tujuh belas tahun, ia punya cara bicara serta pemikiran yang lebih dewasa.

"Sebelum nonton, kita makan dulu, yuk?" ajak Haikal sambil melajukan motornya dengan pelan.

"Boleh." Bayangan wajah Tiara terpantul melalui spion yang sengaja diatur Haikal agar ia bisa sesekali memandangi wajah cantik kekasihnya sepanjang perjalanan. "Mas mau makan di mana?"

"Kamu punya rekomendasi, gak?" Haikal balik bertanya. Itulah caranya mengatakan terserah dengan tetap terdengar keren.

Dan untungnya, Tiara punya jawaban yang mantap. Ia sama sekali tak mengucapkan kata terserah yang bagi kebanyakan pasangan mungkin akan berakhir dengan berputar-putar keliling kota, bingung memutuskan ingin makan di mana, hingga akhirnya kelaparan dan berhenti di warung pecel lele terdekat.

"Kamu tahu gak, Ra? Mas itu sebenernya jago masak, loh."

"Masa sih, Mas?" Tiara meragukan. "Masak Indomie, yo?"

"Ya, itu juga bisa. Menu lain juga bisa." Haikal terdengar bangga. "Kalo kamu, bisa masak, ndak?"

"Bisa dikit-dikit."

"Tenang aja, nanti kapan-kapan Mas ajarin." Tangan kiri Haikal melepas setang motor sejenak untuk menepuk lembut lutut Tiara. "Nah, selain jago masak, Mas juga jago bikin ukiran kayu gitu."

"Ya itu wajar, sih. Keluarga Mas Ikal, kan, punya usaha mebel," sahut Tiara.

"Hehe, iya. Kamu tahu gak, sih? Sebagian besar desain-desain mebel di tempatnya Mas itu, idenya dari Mas. Pokoknya, Mas ini orangnya kreatif gitu."

Di boncengan, Tiara mulai mengerutkan dahi. Ia tentu senang mengetahui bahwa kekasihnya ternyata pandai masak dan juga kreatif, tapi dari cara Haikal bercerita ... agaknya terlalu terasa kesan pamer dalam nada pemuda itu.

"Selain itu, ya—"

Tiara langsung mendengkus saat Haikal melanjutkan cerita, dan kalimat Haikal pun langsung terjeda.

"Kenapa, Ra?" tanyanya.

"Eh, gak apa-apa, kok, Mas. Lanjut, lanjut." Tiara memaksakan senyum sebab ia tahu Haikal bisa melihat wajahnya dari spion.

"Nah, selain itu ... Mas juga pinter. Soalnya, Mas selalu ngajarin adek-adeknya Mas di rumah pas mereka lagi ngerjain PR."

"Oh, gitu, ya? Wah, pasti Mas Ikal selalu dapet minimal sepuluh besar di kelas, ya?"

"Eh?" Haikal langsung gelagapan. Jangankan sepuluh besar. Semua guru di SMAKAM juga tahu bahwa Haikal langganan juara satu atau dua.

Dari belakang.

MATCHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang