Ketika tiba di rumah, Mamat membuka kembali buku matematikanya. Ia berniat menyelesaikan PR yang tadi diberikan Pak Piter sebab besok ada pelajaran matematika lagi di jam pertama. Selain itu, Mamat ingin begadang malam ini untuk menonton film yang baru diunduhnya tadi malam. Jadi, lebih baik ia repot mengerjakan PR sekarang agar bisa bersantai nanti.
Masih mengerjakan dua dari sepuluh soal, ingatan akan Echa mendadak mengusiknya. Rasanya seperti begitu banyak hal yang terjadi dalam satu hari ini. Jika tadi orang yang menabrak Mamat serta menumpahkan matcha di punggungnya bukan Echa, mungkin ceritanya akan jadi berbeda.
"Echa lucu juga, ya," gumam Mamat, tanpa sadar ia tersenyum-senyum sendiri. Ia kemudian meraih ponselnya yang tadi diletakkan di ujung meja belajar. Diaksesnya instagram lalu ia mencari akun Echa.
Semua murid di kelasnya sudah saling follow sejak kelas sepuluh dulu. Gerry yang menyarankan—atau lebih tepatnya, memaksa—agar mereka semua lebih akrab, katanya. Padahal tak ada bedanya. Orang-orang hanya akan akrab dan berteman dengan orang yang mereka mau.
Echa tampaknya jarang aktif di instagram. Hanya ada satu kiriman di akunnya dan itu pun dari lebaran kemarin.
Di kiriman itu, tampak foto Echa bersama kedua orang tua serta kakak laki-lakinya dalam pakaian hari raya yang didominasi warna putih. Minal aidin wal faidzin menjadi caption yang menyertai foto itu.
Mamat menutup kembali ponselnya, tetapi kini ia jadi tak fokus melanjutkan PR.
"Mat?" panggil seseorang dari luar kamar diikuti suara ketukan di pintu.
"Kenapa, Bu?" sahut Mamat.
"Ini ada temenmu, Yanto."
Mamat langsung beranjak dari kursinya dan membuka pintu. Ia mendapati ibunya berdiri di depan pintu kamar dengan Yanto di belakangnya.
"Eh, Yanto." Mamat mengerutkan dahi. Ibunya langsung pergi, meninggalkan dua anak muda itu. "Ada apa?"
Yanto hanya mengembuskan napas dengan berat, membuat Mamat heran.
"Kamu mau ngeluyur? Stok matcha-ku masih ada, besok-besok aja aku nitip lagi—"
"Aku boleh masuk, gak?" potong Yanto. "Mau tidur siang."
"Heh?" Mamat semakin bingung. Namun ia tetap bergeser, mempersilakan Yanto masuk ke kamarnya. "Rumahmu kui, lho, udah kayak istana. Kenapa malah mau tidur siang di rumahku yang tiga kali lebih kecil?"
Yanto tak menjawab. Ia hanya meletakkan ponselnya di atas meja belajar Mamat lalu menelungkupkan tubuhnya di atas kasur single-bed di kamar itu. yanto membenamkan wajahnya di bantal tetapi kemudian langsung dilemparnya.
"Argh! Bau iler!" gerutu Yanto yang kemudian memilih tidur tanpa bantal.
"Lagian ngapain juga tidur di kamar orang?" Mamat berdecak. "Gak bilang-bilang kalo mau dateng. Kan bisa aku gantiin sarung bantalnya dulu, sekalian sepreinya juga. Soalnya belum dicuci, kemaren abis kena ompol, hehe."
"Asu, berisik." Yanto mengarahkan wajahnya pada dinding. "Aku mau tidur."
Mamat hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Yanto. Selama ini Yanto memang sering mampir, tetapi hanya sampai depan rumah untuk mengantar matcha pesanan Mamat. Pemuda itu tak pernah sampai masuk kamar, apa lagi menumpang tidur.
Pada akhirnya Mamat mencoba untuk tak menghiraukan. Barangkali Yanto baru saja keluyuran dan ngantuk berat saat sampai di dekat rumah Mamat hingga memutuskan untuk mampir.
Mamat melanjutkan kembali PR-nya. Ketika ia baru mengerjakan setengah, terdengar dering ponsel Yanto yang sejak tadi berada di ujung meja belajar, tepat di sebelah ponsel Mamat. Tertera nama si penelepon, Meimei dengan emotikon hati berwarna merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATCHA
Novela JuvenilSudah dua tahun Erisha Fayza melalui masa SMA. Namun, ia sibuk tenggelam dalam dunianya sendiri hingga enggan menghiraukan sekitar. Begitu juga dengan Muhammad Akbar Oktavian yang tak lain adalah teman sekelasnya. Satu hal yang tak mereka ketahui, a...