Bab 8: Keluarga

12 3 1
                                    

Mamat menghabiskan sisa air mineral dari tumbler tupperware-nya yang berwarna kuning. Melalui sudut lapangan futsal tempatnya duduk bersama Haikal dan Yanto kini, ia memandangi lapangan yang telah kosong setelah lima menit lalu ia dan teman-teman sekelasnya menyelesaikan permainan futsal mereka.

"Mendungnya gelap, kayaknya mau ujan." Yanto melirik ke atas. Awan kelabu menutup langit, menjadikan lapangan futsal itu dingin karena tak lagi disinari mentari.

"Duh! Jemuranku banyak lagi." Haikal menepuk dahi.

"Adekmu emangnya gak di rumah?" tanya Mamat.

"Jam segini biasanya udah berangkat les." Haikal mengingat-ingat. "Eh, ini hari Selasa, kok. Gak les berarti."

"Lagian kenapa gak pake jasa ART aja, sih?" sahut Yanto.

"Bapakku gak mau, katanya, nanti aku makin males." Haikal mengedikkan bahu.

"Bener juga, sih." Yanto mengangguk paham, membuat Haikal meninju pelan lengannya.

"Emangnya bapakmu gak ada rencana nikah lagi, toh, Kal?"

Pertanyaan Mamat membuat Haikal terkekeh.

"Gak," balasnya singkat.

"Kalian main futsalnya udah selesai?" Beberapa gadis menghampiri mereka. "Lapangannya mau kita pake latihan."

Gadis-gadis itu mengenakan seragam khas pemandu sorak. Atasannya berlengan panjang dengan punggung setengah terbuka, berwarna dasar merah marun dengan strip hitam di bagian lengan dan tulisan STARS di bagian depan dan SMAKAM di bagian belakang. Bawahannya berupa rok mini warna merah marun.

"Woohh! Udah, udah," jawab Haikal sambil mengangguk cepat. "Kalian mau latihan ini yo, anu ... cheerleading?"

Gadis itu mengangguk singkat, ekspresinya datar.

"Silakan, silakan!" Haikal tersenyum lebar. "Aku bakal semangatin dari sini biar makin semangat, hehe."

Para gadis itu melangkah ke tengah lapangan futsal.

"Semangat latihannya, ya, cantik!" teriak Haikal. Namun tampaknya tak satu pun dari gadis-gadis itu menghiraukannya.

Yanto memutar mata lalu bangkit dari tempat duduknya. "Aku mau balik ke kelas, deh. Bentar lagi bel pulang."

Mamat mengikuti dan memang tak sampai lima menit kemudian, bel tanda pulang berbunyi.

"Kamu percaya zodiak, gak?" tanya Echa kala melangkah ke luar kelas bersama Dewi.

"Gak," jawabnya singkat. "Jangan bilang kamu percaya."

"Fifty-fifty, sih." Echa mengangkat bahu. "Aku kepikiran nulis cerita fantasy berdasarkan kedua belas zodiak."

"Oohh, ya tulis aja." Langkah Dewi mendadak terhenti saat ia melihat tim pemandu sorak SMAKAM sedang latihan di lapangan futsal.

"Eh, Cha, kamu tunggu di parkiran. Aku ada urusan bentar." Dewi menepuk pundak Echa lalu berjalan cepat menuju lapangan.

Echa bingung, tetapi ia tak sempat bertanya dan hanya mengikuti perintah Dewi agar lebih dulu menuju parkiran dan menunggu. Ia pun melangkah menuju area parkir sepeda motor di mana Dewi memarkirkan Jupiter MX King-nya yang berwarna biru dengan kopling tangan.

"Belum pulang, Cha?" tanya Mamat saat pemuda itu lewat di dekatnya. Ia tersenyum begitu lebar, membuat Echa tak punya pilihan selain membalas senyum itu.

"Iya, nih. Masih nunggu Dewi, ada urusan bentar."

"Aku duluan, ya."

"Hati-hati, Mat."

MATCHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang