Bab 16: Kurang Pantas

7 1 4
                                    

***


Langit sedikit mendung dan lapangan jadi tak terlalu panas ketika bel pulang berbunyi. Kelompok pemandu sorak SMAKAM terlihat mulai memasuki lapangan untuk latihan sementara para siswa melewati mereka begitu saja, menuju gerbang sekolah.

Dewi duduk memandangi para anggota pemandu sorak itu dari kejauhan. Ia sudah siap pulang dengan ransel di punggung, tetapi harus menunggu Echa karena gadis itu masih melaksanakan gilirannya piket membersihkan musholla SMAKAM bersama beberapa teman-teman sekelas mereka.

Yel-yel yang disorakkan dengan penuh semangat ditambah dengan gerakan-gerakan akrobatik yang lincah dan keren membuat siapa pun kagum melihat pasukan itu. Meski hanya latihan, sudah terlihat fantastis. Sayang, Dewi hanya bisa melihat tanpa bergabung.

Ia ingat benar bagaimana beberapa hari lalu para anggota pemandu sorak itu menolaknya saat ia ingin bergabung.

"Dewi ... Dewi. Kamu itu gak punya kaca di rumah, apa gimana?" Kalimat yang diucapkan Tasya langsung menampar Dewi, padahal kalimat itu belum selesai. Namun, Dewi paham benar ke mana arahnya.

"Tenang, Wi. Nih, aku punya." Salah satu teman Tasya yang juga anggota pemandu sorak mengeluarkan bedak padat dari dalam tas lalu membukanya, menyodorkan cerminnya tepat di depan wajah Dewi. "Tuh, kelihatan, kan?"

"Nih, aku kasih tau, ya ..." Tasya mendekat dan menggerakkan tangannya, berniat menyentuh rambut Dewi, tetapi langsung ditepis oleh gadis itu. "Ih, kamu ... terserah, deh."

"Gini aja, Wi. Kalo kamu mau gabung, panjangin dulu rambutmu sampe kayak kita gini."

Dewi memandang para gadis di hadapannya yang menjadi anggota pemandu sorak itu. Rambut mereka semua panjang paling tidak sebahu. Butuh berapa lama bagi Dewi sampai rambutnya bisa sepanjang itu agar ia bisa diterima menjadi anggota pemandu sorak SMAKAM? Yang ada ia lebih dulu lulus.

"Penampilan udah kayak laki-laki ngapain ikut cheerleading, ndak pantes." Tasya berujar pelan sembari melangkah pergi, tetapi Dewi mendengarnya dengan jelas.

"Muka juga nggak cantik-cantik banget," sahut yang lain.

Dewi mengerjap. Ia tak menduga bahwa akan jadi semenyakitkan itu bicara dengan para anggota pemandu sorak yang bahkan sebagian dari mereka adalah adik kelasnya. Namun memang, tak ada siapa pun lagi yang bisa ditanya jika ingin bergabung dalam pemandu sorak selain anggota dan sang pelatih, yang tak lain adalah guru seni tari SMAKAM yaitu Bu Andrea.

Sayangnya, sudah sejak semester lalu Bu Andrea tidak masuk karena sakit dan menjalani pengobatan intensif. Jadilah mau tak mau, Dewi harus bicara dengan Tasya langsung sebagai anggota yang kabarnya sudah dianggap ketua serta kepercayaan Bu Andrea.

Ah, bahkan jika Dewi bicara pada Bu Andrea, apa bedanya? Bisa saja Bu Andrea punya pendapat yang sama seperti Tasya, walaupun pasti, sebagai guru, ia tentu akan memberi jawaban yang lebih bijaksana jika ingin menolak Dewi.

Lamunan Dewi buyar ketika mendengar teriakan akhir yang amat keras dari para pemandu sorak. Mereka kembali berbaris membentuk formasi di awal, mengulang latihan itu.

Pandangan Dewi melirik ke musholla yang berjarak sekitar tujuh puluh meter dari tempatnya kini berada. Sepertinya sebentar lagi bersih-bersih mereka selesai, tetapi Dewi sengaja tak ingin menghampiri karena di sana ada Gerry. Dan entah mengapa, setiap kali berada di dekat pemuda itu, selalu saja terjadi perdebatan di antara mereka.

Sementara di musholla, Echa hampir menyelesaikan pekerjaannya mengepel lantai saat Mamat tiba-tiba masuk dan dengan santai melangkah menuju rak untuk menyimpan Al Quran dan buku-buku Hadis, melintasi lantai musholla seluas 7x7 meter yang masih basah itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MATCHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang