Bab 1: Pagar Ayu & Pagar Bagus

55 4 0
                                    

"Meja yang itu tolong agak digeser ke sana, yo, Le!" Seorang wanita yang berusia sekitar enam puluhan menunjuk ke salah satu sisi halaman. "Kalo di situ nanti ngalangin jalan!"

"Siap, Budhe!" balas pemuda yang tampak sudah berkeringat hingga kaus abu-abu polosnya terlihat basah, Mamat. Ia bergegas menuju meja tadi dan menggesernya ke arah yang dimaksud budhe.

"Bisa sendiri, Mat?" tanya seorang pria paruh baya yang mendadak menghampiri.

"Bisalah, Pak. Masa nggeser meja kecil gini aja, gak bisa?" Ekspresi Mamat sedikit kesal yang kemudian ditanggapi tawa dari pria itu yang tak lain adalah ayahnya.

"Ya siapa tau aja, toh?" Ayahnya berlalu pergi sementara Mamat lanjut menggeser meja dengan cemberut. Ia sangat paham maksud gurauan sang ayah adalah tentang tubuhnya yang pendek—walau Mamat lebih suka menyebutnya imut—untuk ukuran siswa SMA yang sudah memasuki tahun terakhir.

"Mamat! Udahan dulu, sini istirahat, minum!" Dari kejauhan tampak seorang wanita muda keluar dari dalam rumah. Ia membawa cerek plastik ukuran besar yang penuh air berwarna oranye dengan es batu lalu meletakkannya di atas meja yang ada di halaman. Di belakangnya, seorang gadis yang tampaknya seumuran Mamat, mengikuti dengan satu baskom berisi banyak gelas.

Dengan penuh semangat Mamat menghampiri. Ia sudah ikut membantu menyusun meja dan kursi hingga dekorasi sejak tadi pagi dan kini hausnya hampir tak tertahankan. Bersamaan dengan Mamat, beberapa orang yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaan mereka juga ikut menghampiri meja itu.

"Mbak Rani, ini gak boleh request sirup Kurnia, ya?" gurau Mamat sembari meraih gelas lalu mengisinya penuh dengan minuman rasa jeruk dari dalam cerek.

"Hih, kalo mau, beli aja sirupnya, nanti Echa yang bikinin buat kamu!" balas Mbak Rani—kakak sepupu Mamat—dengan ekspresi gemas lalu mengerling ke arah gadis di sebelahnya.

Mamat melihat gadis yang baru saja dipanggil Echa oleh kakak sepupunya itu. Di saat yang bersamaan, Echa juga melihatnya. Pandangan mereka hanya bertemu selama sepersekian detik, tetapi Mamat langsung salah tingkah.

"Wah, udah selesai, nih, dekornya?" Sepasang mata Mbak Rani berbinar memandangi halaman rumahnya yang luas itu kini terhalang dari sinar matahari karena sudah tertutup tarup, dengan dekorasi yang didominasi warna putih dan biru muda.

"Tinggal pelaminannya dikit lagi, tuh, Mbak." Mamat melirik pelaminan yang berada tak jauh dari mereka, yang akan menjadi tempat si kakak sepupu bersanding dengan suaminya besok.

"Cantik banget, Mbak." Echa ikut terpana melihat pelaminan itu.

"Iya, ya. Kamu mau duduk di sana?" Mbak Rani menyikut pelan lengan Echa, seketika gadis itu memandangnya bingung.

"Lho, memangnya boleh, toh, Mbak?" Echa mengernyit. "Bukannya itu untuk manten aja?"

Mamat menahan tawa melihat reaksi Echa yang begitu lugu. Lain Mbak Rani yang justru menepuk dahi.

"Yowes, ayo masuk, masih banyak kerjaan di belakang." Mbak Rani melangkah kembali ke dalam rumah diikuti Echa.

"Awas, jangan masuk-masuk dapur, Mbak!" seru Mamat sambil tertawa. Ia memang cukup dekat dengan kakak sepupunya itu. Bahkan Mbak Rani sampai memilih Mamat agar menjadi salah satu pagar bagus untuk acara pesta pernikahannya.

Di dalam rumah, orang-orang tak kalah sibuknya—bahkan bisa dibilang jauh lebih sibuk—dari yang ada di luar. Beberapa orang memasang dekorasi di salah satu ruangan untuk menjadi tempat akad nikah, ada juga sekumpulan bapak-bapak yang sedang berdiskusi serius, dan di dapur, ibu-ibu masih menyiapkan segala macam keperluan untuk acara pengajian malam nanti.

MATCHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang