Keyakinan Rendra

2 4 0
                                    

“Alhamdulillah, sudah adzan asar.” Rendra segera merapikan peralatan menyemirnya.
Anak lelaki yang seharusnya duduk di kelas lima itu, tak senang menunda waktu shalatnya. Almarhum ayahnya ‘lah yang menanamkan kebaikan itu sejak Rendra berusia tujuh tahun. Waktu tiga tahun yang terasa singkat bagi ayah Rendra terus ia gunakan untuk memberikan pelajaran kepada Rendra dan kedua adiknya yang usianya tak terpaut jauh dengan putra sulungnya itu. Pengajaran yang bisa sang ayah tinggalkan sebagai pondasi ataupun akar kehidupan tentang banyak keyakinan yang terus ia yakini sampai detik-detik terakhir ia bisa melihat keluarganya.
“Rendra ... Rendra!” panggil Marah.
Anak lelaki yang amat mengenal suara khas anak seumurannya itu menoleh kearah suara berasal. Marah selalu begitu, tiap kali melihat Rendra hendak ke masjid di barat pasar. Marah yang berkeliling pasar dan terminal menjajakan dagangannya sebagai asongan tak selalu berjalan mencari pelanggan bersama Rendra, karena biasanya Rendra hanya berkeliling terminal dan mangkal di ruang tunggu di sana. Jadi, tak heran Marah yang juga tak mau tertinggal jemaah shalat, tiap kali melihat Rendra hendak ke masjid sudah pasti akan memanggil Rendra dengan lantang.

“Tadi, aku sempat ke tempat kamu mangkal, ternyata nda ada. Untung lihat kamu di sini. Yok, ke masjid bareng!” ajak Marah sambil merangkul kawannya.

“Ayo, kita ke masjid bersama! Kupikir kamu malah nda dagang hari ini ... Rah, Marah ... itu suara ikamah. Yok, buruan ... buruan, nanti kita tertinggal!”

Marah mengikuti langkah kawannya berlari, berkejar-kejaran dengan waktu. Rendra dan Marah yang berlari sambil membawa kotak untuk mencari uang mereka masing-masing tetaplah anak-anak yang gesit, meski membawa beban di pundak mereka sendiri. Mereka seolah tak peduli dengan beban yang harus mereka pikul. Lelah pun tak akan cepat lindap seketika, setelah mereka mensucikan diri dengan air wudu. Lantas mendirikan shalat yang hanya lima menit saja, sungguh waktu yang amat sebentar. Namun, sering ditinggal untuk urusan-urusan dunia yang bagi Rendra dan Marah sendiri tak terlalu mereka hiraukan. Mereka tahu lelahnya mencari uang dengan cara dan usaha yang masih bisa mereka kerjakan selama baik dan tak mengalirkan uang yang haram dalam darah mereka sendiri atau ibu dan adik-adik kedua anak lelaki itu seorang-seorang. Uang memang segalanya dengan ekonomi yang ada, tapi bukan berarti semua hanyalah uang dan demi uang. Mereka tahu Tuhan pasti akan memberikan mereka uangnya nanti, entah banyak atau sedikit hal terpenting adalah usaha yang terus dikerjakan dan tak meninggalkan kewajiban mereka sebagai hamba.

Jumlah kata: 389 kata

#30HSMK #SeiraAsa #EventSeiraAsa # Menulis Kebaikan #Belajar&Bertumbuh

Anak-anak ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang