Keyakinan Rendra

2 2 0
                                    

“Rendra, kamu akan langsung pulang? Hari ini Kak Citra datang, loh! Ada kelas melukis juga hari ini bareng Kak Citra di rumah Karsa. Kamu ikut, ‘kan?” tanya Marah yakin bahwa Rendra pasti akan mengiyakan ajakannya yang tersirat dalam pertanyaannya.

“Maaf Marah, hari ini ibuku sakit. Aku ingin cepat pulang. Kasihan ibu di rumah, nanti nda ada yang jaga adik juga dan membantu mereka mengerjakan PR.” Rendra menolak ajakan Marah yang berharap ia akan ikut kelas hari ini.
Sayang, Marah yang ingin memberikan kejutan bersama Kak Citra khusus untuk Rendra sebagai murid di rumah Karsa yang paling rajin, pintar dan kreatif pun akhirnya harus mengurungkan niat mereka yang mungkin harus menunggu sampai Rendra bisa ikut belajar seperti biasanya.

“Ya, tak apa Rendra. Semoga ibumu lekas sembuh, ya ... aamiin. Besok kita ketemu di sini ya, sekalian shalat asar atau duhur bersama. Nah, nanti kubawakan buku catatanku juga. Jadi, kamu tetap bisa belajar Rendra,” kata Marah dengan wajah riang.

Rendra mengangguk mendengar tawaran Marah. Ia dan Marah berpisah di masjid yang mempertemukan mereka pertama kali kala hujan tiba-tiba terjun dari langit-langit kelabu yang seharunya menunjukan indahnya senja di masjid megah ini setahun lalu. Pertemanan yang kemudian menjadi akrab dan membuat Marah senang datang ke masjid untuk bertemu Sang Pencipta dalam setiap rangkaian yang menelusukkan rasa tentram pada lubuk hati.

Selepas Marah berangkat menuju apa yang ia tuju, Rendra bergegas mengayuh sepedanya menyusuri jalan raya dan setapak yang mengantarkannya pada rumah. Kayuhan sepeda dengan kecepatan 2 m/s, membutuhkan 30 menit lamanya supaya Rendra bisa tiba di rumah sebelum adzan berikutnya. Jarak yang cukup jauh memang, untuk seorang anak kecil bersepeda pulang-pergi mencari uang agar nasi tetap ada di meja biar pun hanya berlauk kerupuk dan tahu.

“Oh ya ... Obat ibu habis!” seru Rendra terkejut, lupa obat yang ia beli Selasa kemarin hanya tersisa satu butir saja semalam.

Rendra berbelok ke apotek langganannya yang beruntungnya belum terlewati. Apotek ini sering ramai tiap sore, anak lelaki itu mengantre gilirannya. Selagi mengantre, ia menonton TV 19 inchi yang terwalak di bucu apotek. Sebuah iklan pizza yang panjangnya bagai limosin tengah dipromosikan di layar TV, membuatnya lapar. Khayalannya mulai melayang dipikirannya, berharap suatu hari Tuhan memberikan kesempatan untuknya bisa makan pizza panjang itu.

“Dik ... Adik. Mau beli obat apa, Dik?” tanya apoteker membuyarkan lamunan Rendra.

“Ya, Kak. Mau beli obat histigo dan antasida, ya Kak,” jawab Rendra gugup.

Jumlah kata: 393 kata

#30HSMK #SeiraAsa #EventSeiraAsa # Menulis Kebaikan #Belajar&Bertumbuh

Anak-anak ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang