Surat Maina untuk Sarala

2 3 1
                                    

Sarala memasang wajah masam dan kesal. Ia sudah bolak-balik dari teras ke dapur lalu naik ke atas rumah pohon sebanyak tiga kali, tetapi Maina juga tak tampak di mana pun. Sarala pikir setibanya di rumah eyang, ia akan langsung bermain dengan Maina dan memakan cokelat yang ia bawa dari rumah. Namun, sayang Maina sepertinya tidak ada di rumah hanya ada eyang yang sedang menjahit seprai, mukena, dan kerudung pesanan tetangga. Padahal, gadis kecil seumuran anak kelas tiga sekolah dasar itu sungguh sangat terburu-buru mengayuh sepeda mini merahnya. Ia ingin berbagi makanan kesukaan kakak sepupunya yang umurnya hanya terpaut tiga bulan lebih awal dari kelahirannya.

“Eyang ... Kak Maina sedang pergi ya? Tapi, kok sepedanya ada di samping rumah?” tanya Sarala agak lirih tetapi tak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya pada Maina.

“Tadi Eyang menyuruhnya beli gula merah, cabai, dan terasi untuk membuat sambal terasi, karena persedian Eyang sudah habis. Tapi, Eyang lupa membelinya ketika Eyang pagi Ahad ini ke pasar bersama Maina. Entah sudah pulang atau belum, Eyang tidak tahu Sarala. Tapi, kalau ada sepedanya di samping rumah mungkin kakakmu ada di kamar atau mungkin di belakang halaman menjemur baju yang ia cuci sebelum pergi ke pasar. Coba kamu cari lagi ya, sayang .... Eyang ada pesenan kerudung mau diambil sama pelanggan jam tiga sore.” Eyang menjelaskan panjang lebar, akan tetapi tak memberi jawaban pasti bagi Sarala.

“Aku sudah mengelilingi rumah ini tiga kali, masak harus cari lagi? Oh ya Kak Maina jangan-jangan di sana, aku lupa tidak mengecek ke sana,” gumam Sarala teringat tempat yang mungkin menjawab di mana kakaknya berada.

Benar saja, saat Sarala berlari menaiki anak tangga yang menghubungkan dapur dengan tempat penampung air yang langsung menghadap ke arah panorama alam gunung Burangrang, terdengar Maina sedang menangis sambil mengadu. Sarala segan melanjutkan langkahnya menaiki tiga tangga lagi yang berdiri dihadapannya dengan kokoh. Cokelat ditangan kanannya ia letakkan di tangga, dia pun memilih duduk di anak tangga keempat sebelum ia benar-benar tiba di atas tempat penampung air. Luka dan kesedihan Maina seolah bermigrasi pada dirinya, sebutir air sebening embun berderai di pipi Sarala apalagi kala Maina menanyakan tujuan Tuhan yang ditujukan padanya.

“Tuhan ... sampai kapan Maina tidak berharga. Maina juga tidak pandai, sering diejek teman-teman. Ibu Mirna juga tidak suka Maina .... Ibu tidak mau Maina peluk atau Maina menggambar untuk Ibu. Maina ingin seperti anak-anak lain bisa memeluk ibu .... Tuhan maafkan Maina karena suka nakal,” ucap Maina parau.

Siang menjelang sore hari ini, tak seterik kemarin seolah alam ingin bisa menyejukkan hati gadis kecil yang tengah tersedu. Gadis manis yang senang membuat orang lain bisa bahagia dan tertawa, suatu hari nanti akan Tuhan pertemukan dengan sebuah cerita yang tak akan ia sangka sebelumnya. Kisah yang akan memberikan pembelajaran sebagai kanak-kanak yang tak biasa.

Bersambung ...

Jumlah kata: 457 kata

#30HSMK #SeiraAsa #EventSeiraAsa # Menulis Kebaikan #Belajar&Bertumbuh

Anak-anak ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang