The Confession - Dua

3 0 0
                                    

7.45

Berulang kali Bria melirik jam tangannya, berharap benda itu bergerak lebih lambat dan memberinya lebih banyak waktu, mengingat taksi pesanannya belum datang dan-sialnya-pagi ini Bria ada meeting dengan salah satu penulis baru yang akan segera me-realease novelnya. Bria mengetuk-ngetukkan kakinya dengan tidak sabar. Oh... andaikan saja ada Pak Budi-stop! Dengan gemas Bria membentak dirinya sendiri untuk tidak berpikir tentang Pak Budi karena pada akhirnya ia akan mulai memikirkan lelaki itu, Panji.

Ugh!

Kacau sudah paginya yang indah karena tanpa bisa dicegah lagi, hati dan otaknya meneriakkan nama Panji berulang-ulang dan menyeret kembali kenangan-kenangannya bersama Panji. Bria menghela napas panjang. Kenapa taksi pesanannya tak kunjung datang? Disaat seperti ini hanya pekerjaanlah yang bisa mengalihkan pikirannya.

"Nyonya Abrianna," panggil Jimmy yang entah sejak kapan sudah menghentikan mobilnya dan membuka jendela Toyota Fortuner itu disisi kiri, tempat Bria berdiri menunggu taksi dengan tidak sabar.

Bria tersenyum sopan. "Oh... selamat pagi, Pak Jimmy" sapa Bria sopan. Sebenci-bencinya Bria pada Panji, Bria tetaplah wanita bermartabat yang akan menjaga nama baik suaminya. Bria tidak ingin menjatuhkan nama Panji hanya karena rasa bencinya. Jika memang Panji harus terjatuh, biarlah itu karena dirinya sendiri.

"Menunggu Pak Panji, bu?" tanya Jimmy.

"Bukan," jawab Bria otomatis yang langsung diselali wanita itu. "Suami saya sedang sibuk jadi saya sedang menunggu taksi sekarang," tambah Bria beberapa saat kemudian.

"Bagaimana kalau Ibu Abrianna berangkat bersama saya?" tawar Jimmy. "Toh kita searah bukan? Lagipula taksi disini memang sering datang terlambat," tambah Jimmy begitu menyadari keengganan Bria.

Awalnya Bria ingin menolak tawaran Jimmy. Bagaimanapun ia adalah wanita bermartabat yang tak akan pergi dengan sembarang lelaki. Tapi saat ini keadaannya benar-benar mendesak. Nama besar kantornya sedang dipertaruhkan disini. Dengan berat hati, Bria akhirnya menerima tawaran Jimmy dan naik kekursi penumpang Toyota Fortuner itu tanpa tahu bahwa ada sepasang mata beriris hitam yang memperhatikannya dengan tatapan marah.

"Juliana, tolong batalkan semua janji saya hari ini," titah Panji begitu lelaki itu melewati meja Juliana, sekretarisnya. Juliana baru saja hendak memprotes ketika gadis itu mengurungkan niatnya. Panji yang terkenal ramah dan murah senyum, pagi ini tengah membawa badai didalam hatinya. Wajah Panji tak lagi dihiasi senyum, melainkan mendung yang dilengkapi dengan bibir yang terkatup rapat membentuk garis keras. Secara keseluruhan Panji tampak begitu murka. "Dan tolong panggilkan Bara," tambah Panji sebelum menghilang kedalam ruangannya, meninggalkan Juliana yang menghela napas sebelum tergopoh-gopoh melaksanakan perintah atasannya itu.

Lima belas menit kemudian pintu ruangan Panji terbuka dan seringai jahil Bara muncul, membuat Panji sedikit rileks. Bara adalah rekan kerja sekaligus sahabatnya. Bagi Panji, Bara adalah lelaki dengan seribu wajah. Satu waktu Bara bisa terlihat tenang dan dingin dan diwaktu lain Bara bisa telihat begitu jahil dan menjengkelkan.

"Kenapa lagi sih lo?" tanya Bara sambil duduk dikursi yang ada didepan meja Panji. "Tadi Juliana ngerengek ke gue gara-gara lo batalin semua janji hari ini," tambah Bara.

Panji menghela napas. "Kalau sampe Rea tahu lo deket sama Juliana bisa dikebiri lo sama dia," gumam Panji yang mencoba mengulur waktu.

Bara mendengus dan melambaikan tangannya dengan acuh. "Gue sama Rea itu selalu saling jujur, Nji. Jadi dia juga tahu kalau Juliana itu udah kayak adek gue gara-gara bosnya yang sableng ini," jelas Bara. "Jadi... ada masalah apa lo sama Bria?" tanya Bara kemudian.

Panji kembali menghela napas, entah keberapa kalinya dalam sejam ini.

Sambil menahan geram, Panji menceritakan kejadian dimana Bria naik ke mobil Jimmy yang langsung membuat Bara terkesiap dan terbelalak.

"Jimmy Natanegara? Yang brengsek itu?" tanya Bara begitu Panji menyelesaikan ceritanya.

Bara mengangguk-angguk, tampak berpikir sebentar. "Seinget gue Jimmy emang tinggal diapartemen itu. Tiga bulanan lalu kayaknya baru pindah,"

Pantas... desah Panji dalam hati. Lima bulan lalu ketika Panji menyelidiki apartemen Bria, Panji tidak mendapati sesuatu yang aneh. Jadi ia sedikit terkejut ketika tadi pagi ia hendak menjemput Bria setelah membatalkan pesanan taksi istrinya itu dan malah mendapati Bria yang menaiki mobil Panji.

"Nji." Panggil Bara yang berhasil mengusik lamunan Panji.

"Saran gue, jelasin semuanya ke Bria. Semuanya."

The ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang