Bau obat-obatan yang begitu menyengat akhirnya membangunkan Bria dari tidurnya. Kehilangan orientasi, Bria mengedarkan pandangannya sebelum akhirnya ia menyadari kalau saat ini ia tengah berada dirumah sakit. Terlihat dari langit-langit putih, dinding yang berwarna putih bersih sertai tirai jendela berwarna pastel. Selain itu aroma obat-obatan dan ranjang keras yang Bria tiduri semakin memperkuat dugaan Bria. Bria hendak turun dari ranjang dan meminta penjelasan kepada siapapun saat merasakan kepalanya pening hingga akhirnya wanita itu kembali memutuskan untuk berbaring dan menutup matanya. Beberapa saat kemudian, Bria mendengar pintu terbuka dan menutup, tapi entah batinnya memintanya untuk pura-pura tidur.
Sentuhan yang asing sekaligus familier terasa ditelapak tangannya ketika tangannya perlahan digenggam, diremas pelan sebelum akhirnya dicium dengan lembut dan mesra. Bria jelas tahu dengan pasti siapa orang yang mencium tangannya. Panji. Tapi entah kenapa kata hatinya menuntun Bria untuk tetap berpura-pura tidur, alih-alih mengusir Panji.
Sentuhan lembut Panji kini berpindah dari tangannya menuju perutnya. Disana Panji mengelus perutnya yang datar dengan sayang yang langsung membuat Bria menegang dan membuka matanya seketika.
"Bria sayang," panggil Panji mesra. Kini tangan Panji telah beralih ke rambutnya, membelai lembut. "Kamu sudah bangun? Bagaimana perasaan kamu?" berondong Panji.
"Aku sakit apa?" tanya Bria, dingin dan datar.
"Kamu masih pusing? Mual? Atau ingin makan sesuatu?" berondong Panji lagi.
"PANJI!" bentak Bria gemas. "Aku. Sakit. Apa?" tanya Bria sembari menekankan setiap katanya.
Bukannya marah karena untuk pertama kalinya Bria membentaknya, Panji tersenyum dan kembali mengelus perut Bria yang seketika membuat hati Bria mencelus.
"Kamu hamil sayang, lima minggu"
Kamu hamil sayang, lima minggu.
Kata-kata Panji terus saja terngiang ditelinganya meski sudah lebih dari satu jam Panji meninggalkannya. Tadi, setelah memberi tahu Bria tentang kehamilannya dengan kebahagiaan yang tidak repot-repot untuk Panji tutupi dari wajah dan juga matanya, Bria meminta Panji untuk pulang membawakan pakaian ganti untuknya dan juga membelikan Bria muffin kesukaannya di bakery yang ada didepan kantornya. Memang, untuk pertama kalinya sejak dua tahun yang lalu, Bria tak lagi bersikap kasar atau ketus pada Panji. Bria bukannya tidak benci ataupun marah lagi pada lelaki itu, Bria hanya lelah dan membutuhkan waktu untuk berpikir. Dan bersikap kasar pada Panji sama sekali tak akan membantunya.
Tanpa sadar tangan kanan Bria yang tidak diinfus menyentuh perutnya yang masih datar dan membelainya pelan. Saat ini, didalam perutnya tengah hidup seorang janin yang berhasil mengirimkan gelenyar hangat di hati Bria. Dua tahun yang lalu Bria pernah berpikir kalau ia akan mengalami hal ini, tapi rupanya takdir berkata lain, dua tahun lalu Tuhan masih enggan menitipkan janin ini padanya dan sekarang, disaat keadaan jauh lebih kacau, Tuhan justru menitipkan janin ini kepadanya.
"Apa yang harus bunda lakukan, sayang?" tanya Bria lembut dengan suara bergetar. Tanpa bisa dicegah lagi air mata luruh membasahi wajahnya.
Bria bukannya tidak bahagia ataupun bersyukur dengan kehadiran janin dalam perutnya. Bukan, bukan karena itu. Bria justru sangat bahagia. Membayangkan kalau ada orang lain yang akan bergantung padanya dan akan menjadi tempatnya berbagi kasih sayang membuat Bria sangat bahagia. Tapi semua perasaan bahagia itu terpaksa ia kesampingkan saat ia menyadari kondisi rumah tangganya yang sama sekali tidak kondusif untuk janin yang ada dalam kandungannya.
"Apa yang harus bunda lakukan sayang? Apakah bunda harus memaafkan ayahmu? Apakah bunda harus melepaskan semuanya dan memulai semuanya lagi dengan ayahmu?" tanya Bria lagi. Dengan posisi tidurnya, Bria menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil menangis tersedu-sedu, tangis yang ia tahan selama dua tahun lamanya.
Tamu terakhir baru saja berpamitan ketika Bria memutuskan untuk masuk kedalam kamarnya dan membersihkan riasan yang seharian ini benar-benar membuatnya terganggu. Bria nyaris tak bisa mempercayai dirinya sendiri bahwa saat ini Bria telah resmi menjadi Nyonya Brantasenawa, istri sah dari Panji Brantasenawa, seorang pengacara terkenal yang beberapa waktu menjadi klien-nya.
Bria menatap bayangannya sendiri dicermin kamar mandi yang sedikit beruap. Bria akui, riasan diwajahnya mampu menyembunyikan kesedihan dan juga wajahnya yang pucat, apalagi ia sempat pingsan setelah akad nikah tadi. Beruntung ayahnya tidak curiga dan malah menganggap pingsannya Bria sebagai bentuk perasaan bahagia Bria. Mengingat semua itu Bria tersenyum kecut. Sejujurnya menikah berada diurutan terbawah keinginannya saat ini. Tapi takdir berkata lain dan Bria tak bisa mengelak dari kehendak-Nya.
Bahagiakah ia?
Entahlah... Bria sendiri tidak tahu bagaimana perasannya saat ini. Bria memang sudah mengenal Panji cukup lama. Lagipula siapa sih yang tidak mengenal Panji Brantasenawa, kakak senior tampan dari kelas XI IPS yang juga menjawab sebagai ketua klub debat dan wakil ketua OSIS? Bria akui, pesona Panji memang sempat membuatnya terjerat. Tapi itu dulu, ketika Bria masih mengenakan seragam putih abu-abu.
Dasar pembohong!
Bria tersenyum kecut. Ya... pembohong, karena sampai sekarang pun Bria masih terpesona pada Panji, kakak seniornya yang tampan. Apalagi setelah bertahun-tahun tidak bertemu dan saat ini Panji jauh lebih dewasa dan matang. Bria tidak bisa membohongi hatinya bahwa ia masih terpesona pada Panji, meski Bria berusaha mati-matian untuk menyangkalnya. Tapi semua itu tak penting sekarang. Yang terpenting hanyalah satu pertanyaan yang tak kunjung ia temukan jawabannya.
Bahagiakah ia sekarang?
Usai mandi dan berendam cukup lama, Bria keluar dari kamar dan mendapati bahwa Panji belum masuk. Dengan sedikit penasaran dan dengan dalih ingin mengambil air minum, Bria keluar dari kamarnya dan menuju dapur sambil sesekali mencari keberadaan Panji. Bria baru saja hendak kembali masuk ke dalam kamarnya sambil membawa segelas air putih ketika Bria mendengar tawa Panji dari ruang tengah. Awalnya Bria tidak ingin mencuri dengar apapun pembicaraan Panji, tapi sekali ini, rasa penasaran Bria yang menang.
"Hebat kan gue bisa ngedapetin Bria?" tanya Panji pada lawan bicaranya-yang-entah-siapa sambil tertawa. "Sialan lo! Ini semua karena ide cemerlang gue buat jebak dia, kalau nggak mana mau dia nikah sama gue,"
Bria terenyak. Menjebak? Jadi selama ini Panjimenjebaknya? Ah... betapa bodohnya Bria! Dengan hati remuk redam, Bria berbalikdan masuk dalam kamarnya sambil berjanji bahwa ia tak akan membiarkan Panjimemperdayanya lagi. Tidak akan!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Confession
Short Story"Love is simple, but most of people tent to over analyze it" Love, Curse and Hocus Pocus - Karla M. Nashar Ketika pernikahan yang dibangunnya selama dua tahun akan segera berakhir, Abranna akhirnya menyadari bahwa apa yang ia percayai tidak seperti...