The Confession - Tiga

2 0 0
                                    

Karena sekarang ayah sudah nggak ada. Aku pergi.

Abrianna

Dengan nanar, Panji menatap selembar kertas putih dengan dua baris kalimat yang begitu menyayat hatinya itu. Selembar kertas yang ia dapati di ranjangnya ketika ia membuka matanya di suatu pagi, pagi termuram dalam hidup Panji. Panji ingat, pagi itu ia begitu murka hingga ia menghancurkan barang apapun yang ada dikamarnya hingga Bara datang masih dengan piamanya tiga puluh menit kemudian diikuti dengan Rea, istri Bara yang entah bagaimana lewat kata-katanya yang lembut, mampu meredakan sedikit kemarahan Panji dan mengembalikan akal sehatnya.

"Sekarang, daripada kamu melukai diri kamu sendiri, lebih baik kamu cari istri kamu dan selesaikan masalah diantara kalian," itulah nasihat terakhir dari Rea sebelum Panji dengan akal sehatnya yang baru saja kembali langsung mencari Bria tanpa mempedulikan dirinya yang pagi itu hanya mengenakan piyama dan kaus putih tipis yang sudah kusut.

Panji baru berhasil menemukan Bria tiga hari kemudian disebuah apartemen kelas menengah tak jauh dari rumah mereka. Hanya saja, Panji tak menuruti semua nasihat Rea. Alih-alih menyelesaikan masalah diantara mereka, Panji hanya mengiyakan saja waktu Bria memintanya pergi dan meninggalkannya sendiri. Hingga puncaknya dua bulan yang lalu Bria mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama, membuat Panji benar-benar murka. Tapi lagi-lagi Panji hanya diam, membiarkan Bria melakukan semua yang diinginkan wanita itu tanpa sekalipun berniat menjelaskan apapun.

Tapi kali ini Panji akan melakukan apapun, bahkan menjelaskan semua kesalah pahaman diantara mereka untuk menjauhkan Bria dari lelaki brengsek macam Jimmy dan membawa istrinya itu kembali padanya, Panji rela. Apapun akan ia lakukan. Apapun.

Sejak mulai tinggal diapartemen lima bulan yang lalu, Bria sudah sangat terbiasa dengan bunyi ting! nyaring yang menandakan lift berhenti disebuah lantai. Dan secara otomatis Bria yang hobi sekali memejamkan matanya di lift langsung membuka matanya begitu bunyi itu terdengar.

Seperti biasanya, begitu bunyi ting! nyaring menyapa pendengarannya, Bria membuka matanya. Namun alih-alih melihat dinding koridor apartemennya yang kosong seperti biasanya, kini Bria melihat seseorang yang berada dalam daftar terakhir orang yang ingin ditemuinya tengah bersandar didinding itu sambil melipat kedua tangannya didepan dada dan menatap Bria tajam.

Bria memasang wajah datar andalannya dan seolah tak melihat apapun, Bria berlalu begitu saja menuju unit apartemennya yang terletak beberapa pintu dari lift. Bria tahu bahwa saat ini Panji sedang mengikutinya, tapi Bria mencoba mengabaikannya dan terus berjalan menuju apartemennya. Hingga ketika Bria hendak masuk dan menutup pintu, Panji menahan pintu apartemen Bria dan memaksa masuk meski Bria sudah berusaha mencegahnya.

"Apa mau kamu?" tanya Bria ketus dan dingin.

Panji meringis dalam hati. Sejak menikah dua tahun yang lalu, Bria memang tak pernah bersikap mesra kepadanya. Tapi setidaknya ditahun pertama pernikahan mereka, Bria masih berbicara dengan cukup sopan dan normal. Namun semua itu berubah ketika ayah Bria meninggal setahun yang lalu. Bria yang dulu menganggapnya hanya sebagai kewajibannya, kini benar-benar mengabaikannya. Bria hanya sesekali bicara dengannya, selebihnya Bria memilih berkutat dengan pekerjaannya.

Panji menggeleng beberapa kali, mencoba menghapus kenangan itu dari otaknya sebelum kembali fokus pada Bria yang masih menatapnya dengan dingin.

"Membawa istriku kembali," jawab Panji mantap dengan kesungguhan yang menyala-nyala dimatanya.

Bria menatap Panji selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa. Tawa sinis.

"Apa kamu lupa suamiku sayang kalau aku sudah mendaftarkan gugatan cerai kita?" tanya Bria sambil menekankan kata sayang seolah mencibirnya.

Panji yang sudah tidak bisa menahan emosinya, apalagi dengan bayangan Bria yang sedang menaiki mobil Jimmy menari-nari dimatanya, menatap Bria tajam dan mendekati istrinya itu perlahan. Langkah demi langkah. Seperti predator yang hendak menangkap mangsanya. Sementara Bria yang merasa begitu terintimidasi dengan tatapan Panji, melangkah mundur seiring dengan langkah maju Panji, hingga akhirnya Bria tak bisa mundur lagi karena kini wanita itu terjebak antara dinding kaca apartemennya dan tubuh Panji. Melihat kesempatan itu, Panji terus mendekati Bria dan menumpukan tangannya kedinding kaca dibelakang Bria, menjadikan lengannya penjara sementara untuk Bria.

Demi tuhan! Saat ini Bria benar-benar ketakutan. Lelaki didepannya ini bukanlah lelaki yang dikenalnya selama dua tahun terakhir karena Panji yang ia kenal tak pernah menatapnya setajam itu, apalagi sampai mengintimidasinya meski seburuk apapun Bria memperlakukannya. Ya! Bria akui, Bria memang bukan istri yang baik. Meski pernikahan mereka tak pernah didasari oleh cinta, sudah seharusnya Bria memperlakukan Panji sewajarnya istri memperlakukan suami bukan? Tapi tidak. Bria tak pernah melakukan itu. Yang ada Bria hanya menanggap Panji sebagai bebannya.

"Kenapa diam istriku? Takut?" tanya Panji dengan suara rendah yang dalam.

Bria kehilangan kata-katanya. Saat ini satu-satunya hal yang ingin dilakukannya hanyalah mendorong tubuh Panji menjauh dan mengusir suaminya itu dari sini. Tapi Bria tak bisa melakukan apapun, karena semua akal sehatnya telah terpasung dalam tatapan Panji.

"Atau kamu merindukanku sama seperti aku merindukanmu?" Tanya Panji sembari menghirup dalam-dalam aroma Bria, membuat Bria nyaris kehilangan akal sehatnya.

Pertanyaan Panji seketika menyalakan alarm dalam kepala Bria, tapi belum sempat Bria mendorong tubuh Panji, lelaki itu sudah lebih dulu memajukan kepalanya dan mencium atau lebih tepatnya melumat bibir Bria dengan kasar. Dengan sekuat tenaga-meski nyaris tak ada tenaga yang tersisa-Bria mencoba mendorong tubuh Panji sambil memalingkan wajahnya ke kanan dan kekiri, agar Panji tak bisa lagi melumat bibirnya. Namun tenaga Bria bukanlah tandingan tenaga Panji. Dengan mudah Panji mencekal kedua tangan Bria dan mengucinya diatas kepala istrinya itu dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya mencengkeram dengan kuat rahang Bria.

"Kamu istriku. Dan selamanya akan begitu." Bisik Panji dibibir Bria sebelum lelaki itu kembali melumat bibir Bria. Kali ini lumatan Panji tak lagi kasar seperti sebelumnya, tetapi jauh lebih lembut dan menuntut. Panji mencurahkan semua rasa frustasinya dalam ciuman itu hingga akhirnya, Bria luruh dalam pelukan Panji dan membiarkan lelaki itu melakukan apapun yang seharusnya dilakukan suami kepada istirnya.

The ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang