The Confession - Empat

2 0 0
                                    

Isak tangis itu akhirnya lolos dibibir Bria ketika wanita dua puluh lima tahun itu luruh di lantai kamar mandinya dengan hanya berbalut selimut. Lagi... Bria kalah. Kalah dengan pesona dan gairah yang dibawa Panji kepadanya. Dulu kekalahannya membuatnya terjebak kepada lelaki brengsek yang hanya ingin memanfaatkannya, dan sekarang kekalahannya akan membawanya kepada kehancuran.

Penyesalan itu datang seiring dengan kesadaran Bria yang perlahan terkumpul. Dimana ia berada dan apa yang ia lakukan semalam tergambar jelas dalam otaknya. Tanpa mempedulikan rasa perih dipangkal pahanya, Bria turun dari ranjang terkutuk itu sambil memunguti satu per satu pakaiannya sembari menarik selimut bersamanya tanpa mempedulikan ketelanjangan lelaki yang semalam memeluknya dengan erat.

Sambil terisak-isak, Bria berdiri dibawah shower dan membiarkan air dingin menghapus penyesalan dan noda-noda yang ditinggalkan lelaki itu ditubuhnya. Tapi semua itu sia-sia bukan? Hartanya yang berharga telah hilang begitu saja karena kebodohannya.

Setelah puas menangis dan membersihkan dirinya hingga kulitnya memerah dan perih, Bria mengenakan kembali pakaiannya dan keluar dari kamar mandi. Saat itulah Bria mendapati lelaki itu, Panji Brantasenawa-klien sekaligus kakak kelasnya sewaktu sekolah dulu-tengah menunggunya. Panji sendiri sudah rapi. Bahkan tempat tidur yang porak poranda pun kini telah tertata.

Bria berusaha mengabaikan Panji dan akan pergi ketika suara Panji menghentikan langkah Bria.

"Apakah kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja?" tanya Panji sarkatis meski ia tahu jawabannya. Bria menghentikan langkahnya dan berbalik, bergeming ditempatnya sambil menatap Panji tajam. "Apa kamu lupa kalau semalam aku tidak memakai pengaman?" tanya Panji lagi yang seketika membuat Bria terkesiap.

"Ya... Bria sayang," Panji mengiyakan seolah ia bisa membaca pikiran Bria. "Benihku mungkin saja sedang tumbuh dirahimmu dan kamu," Panji berhenti kemudian menyunggingkan senyum liciknya. "Tidak akan bisa pergi dariku."

Untuk kedua kalinya dalam hidupnya Panji dibangunkan oleh isak tangis Bria. Dengan penyesalan yang bergemuruh didadanya, Panji bangun dari tempat tidur Bria yang semalam menjadi saksi penyerahan istrinya itu dan mendapati Bria sudah tidak ada. Panji yakin saat ini Bria pasti tengah menangis di kamar mandi, menyesali apa yang terjadi seperti dulu. Awalnya Panji ingin menyusul Bria kekamar mandi dan menenangkan istrinya itu, tapi Panji mengurungkan niatnya. Mungkin yang dibutuhkan Bria saat ini adalah sendirian.

Hubungi aku begitu kamu siap.

Hanya sebaris kalimat itu yang ditinggalkan Panji untuk Bria diselembar kertas yang lelaki itu tempelkan di cermin. Rasanya Bria benar-benar ingin melempar cermin itu dengan benda apapun didekatnya saat itu, tapi sekali lagi Bria memilih mengikuti akal sehatnya, alih-alih emosinya. Bria pikir ketika ia keluar dari kamar mandi, Bria akan mendapati Panji yang tengah menunggunya seperti dua tahun yang lalu. Tapi apa yang sekarang ia dapati? Ranjang berantakan yang menjadi saksi kebodohannya dan sebari kalimat.

Menghubungimu begitu aku siap? Jangan mimpi!

Dengan marah Bria meraih catatan itu dan merobeknya. Setidaknya hanya inilah yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan kemarahannya karena Bria bukan wanita sembarangan yang akan mengotori tangannya. Jika memang Panji mendapat balasannya, biarlah tangan-tangan takdir yang bekerja. Bukan tangannya.

"Aku tidak yakin ayahmu akan sanggup bertahan kalau seandainya tahu anak perempuannya hamil diluar nikah," gumam Panji dengan ringan, seolah saat ini lelaki itu tengah membicarakan cuaca alih-alih kemungkinan mengerikan yang pasti akan menghancurkan kehidupan Bria. Secara refleks Bria menyentuh perutnya yang datar sambil berharap dalam hati kalau ia tidak akan hamil. Sekali melakukannya tidak akan langsung hamil bukan?

"Kemungkinannya masih 50:50, Bria." Ujar Panji yang entah bagaimana seolah bisa membaca pikiran Bria. "Aku dan kamu sama-sama tidak tahu. Tapi satu-satunya langkah aman yang bisa kita lakukan hanyalah menikah. Dan andaikan kamu hamil, kita akan bisa mengabarkan hal itu pada ayahmu dengan bahagia bukan? Dan jantung beliau yang lemah itu akan bisa bertahan sedikit lebih lama lagi."

Entah setan apa yang merasuki Bria, karena tanpa pikir panjang lagi, Bria akhirnya menyetujui ide konyol Panji untuk menikah. Menikah demi bayi yang ternyata tak pernah hadir dalam hidup mereka.

"WHAT!?" teriakan Bara seketika menggema setelah Panji usai menceritakan apa saja yang terjadi ketika ia pergi ke apartemen Bria. "Lo ngelakuin itu lagi sama Bria?" tanya Bara dengan suara lebih normal. Meski enggan, Panji mengakuinya. Selain dirinya dan Tuhan, hanyalah Bara yang tahu cara licik apa yang ia lakukan untuk menikahi Bria, juga penderitaannya selama menikah dengan Bria. "Dan lo pergi gitu saja setelah minta dia ngubungin lo pake note sialan itu?" tanya Bara lagi. Lagi-lagi Bara mengangguk yang langsung disambut erangan oleh Bara.

"Kenapa sih Bar?" tanya Panji yang sudah gemas dari tadi karena Bara terus saja bertanya dan sekarang justru mengerang.

Bara menghela napas panjang, putus asa. "Gue pikir elo pinter, ternyata elo bego!"

Baru saja Panji hendak protes ketika Bara mengangkat tangannya "Dengerin gue dulu" perintahnya dan meskipun Panji sedikit tersinggung dengan kalimat terakhir Bara, Panji memutuskan untuk membiarkan Bara menjelaskan.

"Elo udah ngelakuinhal itu sama dia dan bikin dia marah, dan elo dengan begonya minta dia ngubungin elo?"tanya Bara lagi sambil membeberkan fakta-fakta yang ada. Hati Panji mencelus.Baru sekarang ia sadar kalau Bria tak akan pernah menghubunginya ketikaistrinya itu siap, bahkan mungkin Bria tak akan menghubunginya selamanya.

The ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang