The Confession - Lima

2 0 0
                                    

Prediksi Bara dan ketakutan Panji menjadi kenyataan. Setelah malam itu, Bria tak pernah menghubungi Panji ataupun membiarkan Panji menghubunginya. Jika dulu Bria masih mau menemani Panji dalam acara-acara resmi demi menjaga reputasi Panji, kini Bria bahkan tak sudi membaca bbmnya. Bria bahkan menutup semua akses untuk Panji menemuinya. Di apartemen Bria, Panji telah masuk menjadi daftar hitam hingga tiap kali ia memunculkan wajahnya, satpam galak bernama Kosim itu pasti akan mencegatnya dan mengusirnya. Hal yang sama berlaku di kantor Bria. Istrinya itu telah mewanti-wanti resepsionis dan satpam untuk tidak memberinya akses apapun hingga membuat Panji benar-benar putus asa karena saat ini tak ada satupun hal didunia ini yang bisa menghubungkannya dengan Bria lagi.

Dan seperti dua minggu belakangan, demi melampiaskan rasa frustasinya, Panji selalu menghabiskan waktunya untuk menenggak alkohol dirumahnya hingga membuat Rea-istri Bara-tiap pagi menyambangi Panji sambil membawa bubur ayam dan aspirin demi menjaga Panji tetap waras. Jika dulu mungkin nasihat Rea bisa sedikit mengembalikan akal sehat Panji, kini tak ada lagi yang bisa mengembalikannya. Bahkan dua minggu belakangan setelah menyadari fakta bahwa ia tak akan bisa lagi meraih istrinya, Panji tidak lagi bekerja dan malah terhanyut dalam dunianya. Saat ini satu-satunya hal yang bisa mengembalikan akal sehat Panji hanya Bria.

Setelah malam itu Bria merasakan hidupnya benar-benar damai karena setelah malam itu Bria benar-benar memutuskan semua akses bagi Panji untuk mencampuri kehidupannya. Bria memblokir nomor Panji dan semua media sosialnya. Lalu Bria meminta Pak Kosim, satpam apartemennya untuk melarang Panji masuk. Seolah belum cukup Bria juga meminta resepsionis dan satpam kantornya melakukan hal yang sama. Bahkan Bria mewanti-wanti pada Hera untuk menanyakan dulu dengan jelas siapa yang menelponnya sebelum menyambungkannya. Dan sesuai keinginannya, kehidupan Bria yang sekarang benar-benar tenang dan damai. Bria hanya perlu menunggu panggilan dari pengadilan untuk sidangnya nanti, meski sudah pasti Bria tak akan menghadiri sidang itu dan memberi kuasa sepenuhnya pada Tatiana, sahabatnya yang kebetulan berprofesi sebagai pengacara.

"Mbak Bria," panggil Hera saat Bria baru saja turun dari taksi dan hendak menuju lift.

"Ya?" Bria berbalik dan menghentikan langkahnya.

"Mbak ditunggu Bu Tatiana di ruangan mbak," beritahu Hera yang langsung membuat senyum Bria terbit. Mengabaikan mual diperutnya dan sedikit pening dikepalanya, Bria mempercepat langkahnya diiringi dengan ketukan heels nya dengan lantai. Selain karena Bria memang ingin segera bertemu dengan Tatiana, alasan Bria mempercepat langkahnya karena kondisi tubuhnya yang kurang fit akhir-akhir ini. Seminggu belakangan Bria memang sering muntah dan dilanda pusing. Bria yang sudah akrab dengan gejala itu hanya mengabaikannya seperti biasa karena toh Bria hanya perlu makan dan semua rasa mual dan pusing itu akan segera hilang.

"Bria, are you okay?" tanya Tatiana cemas saat Bria memasuki ruangannya dengan wajah yang begitu pucat. Namun sebelum sempat Bria menjawab, tubuh wanita itu mendadak saja limbung dan sebelum Tatiana sempat menopang tubuh Bria, Bria sudah terlebih dulu tergolek dilantai, pingsan.

Saat ini rasanya Panji ingin sekali mencaci maki atau kalau perlu menghajar siapapun orang yang menciptakan I-Phone karena bukannya membiarkannya tenang, benda itu terus saja berbunyi meski Panji telah mengabaikannya sedari tadi. Akhirnya karena tidak tahan lagi, Panji meraih I-Phone nya dan sedikit terkejut ketika mendati nama Tatiana di layarnya. Awalnya Panji ingin mengabaikan panggilan itu mengingat Tatiana bukan sekedar sahabat Bria, tetapi juga pengacara istrinya. Saat ini Panji benar-benar enggan mendengar apapun perihal perceraiannya dengan Bria, tapi akhirnya Panji mengangkat telpon itu setelah berdebat dengan dirinya sendiri.

"Ya Tatiana,"

"Panji!" pekik Tatiana alih-alih menjawab sapaan Panji. "Kamu harus kerumah sakit sekarang. Bria pingsan!"

Tanpa membuang waktu lagi, Panji langsung pergi kerumah sakit begitu Tatiana mengirimkan alamat rumah sakit lewat sms. Panji yang biasanya taat berlalu lintas kini melupakan semuanya dan memacu mobilnya dengan secepat mungkin hingga akhirnya Panji sampai di rumah sakit tiga puluh menit kemudian tanpa kekurangan suatu apapun, kecuali mendapatkan makian dari para penghuni jalan.

Setelah bertanya pada suster yang berjaga didepan, Panji langsung menuju ruang rawat Bria dan mendapati Tatiana sedang menunggunya didepan pintu kamar Bria dengan cemas.

"Tatiana!" panggil Panji dengan napas terengah.

"Syukurlah kamu segera datang. Dari tadi dokter menanyakanmu dan menyuruhmu keruangannya begitu tiba," setelah mendengarkan ucapan Tatiana, Panji segera pergi keruang dokter usai menggumamkan ucapan terimakasih untuk Tatiana. Panji sengaja mengurungkan niatnya untuk melihat keadaan Bria karena Panji lebih memilih untuk tahu lebih dulu penyakit Bria sebelum menghadapinya. Agar Panji tahu harus bereaksi seperti apa didepan istrinya nanti.

"Permisi dokter, saya suami nyonya Abrianna Brantasenawa," Panji memperkenalkan dirinya setelah dipersilahkan masuk dan duduk oleh seorang dokter paruh baya bernama Ridwan itu. "Bagaimana keadaan istri saya dok?" tanya Panji tanpa basa-basi.

Diluar dugaan, dokter itu malah tersenyum alih-alih berwajah datar dan justru mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Panji dengan bingung.

"Selamat tuan, anda akan segera menjadi ayah."

"A... ayah?" Panji membeo

"Ya... Nyonya Abrianna saat ini tengah hamil lima minggu"

Hamil? Hamil! Ya tuhan! Dengan air mata berderai dan ucapan kata syukur, Panji luruh dalam kebahagiaannya. Inikah takdir yang kau siapkan untuk hamba tuhan?

The ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang