All colors seem to fade away
I cant reach my soul
Bu Bria, kita sudah sampai, suara rendah dan berat Pak Budi-lah yang pertama kali memecah keheningan didalam Nissan March itu. Bria yang sedari tadi memejamkan matanya dalam usahanya untuk tidur sambil mendengarkan lantunan lagu-lagu klasik dari I-Pod nya membuka matanya dan mendapati mobilnya telah berhenti di basement sebuah apartemen, tempat tinggal barunya beberapa bulan terakhir ini.
Pak Budi bisa langsung pulang, saya naik taksi saja besok. Pesan Bria sambil meraih tasnya dan bersiap untuk keluar.
Tapi Bu-
Bilang ke bapak ini keinginan saya, potong Bria sebelum keluar dari mobil dan berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai dua lima, tempat unit apartemennya berada. Begitu berada di dalam lift, Bria menghela napas dan memejamkan matanya, berusaha menyerap keheningan yang disediakan lift untuknya, meski itu hanya sejenak.
Bunyi ting! yang nyaring membuat Bria membuka matanya dan bersiap untuk keluar dari lift saat menyadari kalau lift berhenti di loby. Begitu pintu terbuka, seorang lelaki berbadan tegap dengan setelannya yang lengkap masuk dan membiarkan pintu tertutup tanpa menekan nomor lantai, membuat Bria mengerutkan keningnya sebelum mengangkat kedua bahunya acuh.
Nyonya Abrianna? panggil lelaki yang baru masuk dengan ragu.
Bria yang sudah kembali memejamkan matanya seketika membukanya lagi. Ya, jawabnya ragu. Anda tuan
Jimmy, lelaki itu-Jimmy-menyebutkan namanya dan mengulurkan tangannya yang langsung disambut Bria.
Maaf kalau kedengarannya kasar. Apa saya mengenal anda? tanya Bria tanpa basa-basi. Rasanya sedikit menyeramkan jika ada orang yang mengenalnya tapi Bria tidak mengenal orang itu. Lelaki itu-Jimmy-tersenyum memaklumi.
Saya salah satu rekan kerja Pak Panji,
Ah desah Bria. Panji. Nama itu seolah tak pernah bisa lepas dari kehidupannya. Namun belum sempat Bria berkomentar, bunyi ting! nyaring kembali terdengar dan kini lift kembali berhenti di lantai dua puluh lima.
Anda tinggal disini? tanya Bria ketika Jimmy juga turun dilantai yang sama dengannya.
Ya. Jawab Jimmy mantap dengan senyum lebarnya. Apakah anda juga tinggal disini? tanya Jimmy sedikit ragu, karena setahu Jimmy, Bria tinggal disebuah perumahan mewah yang terletak tidak jauh dari sini.
Bria tersenyum dan menggeleng. Saya menjenguk saudara, dusta Bria lancar. Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Bria bisa melepas senyuman yang melekat diwajahnya dan melangkahkan kakinya menuju apartemennya.
Bria tidak bisa menahan desahannya begitu tubuhnya yang lelah ia hempaskan di sofa ruang tengah apartemennya yang sepi, meski sayup-sayup suara kendaraan yang berlalu lalang dibawah sana masih terdengar. Bria menunduk, melepaskan high heels yang ia kenakan seharian ini dan melemaskan jari-jari kakinya. Hari ini benar-benar panjang. Dua meeting dengan klien diluar dan sebuah makan malam resmi yang menyesakkan. Makan malam resmi dengan Panji, suaminya.
Tell me Im frozen
Refrain lagu Frozen dari Within Temptation mengembalikan lagi kesadaran Bria yang nyaris melayang. Rasa lelah nyaris membuatnya tertidur tanpa membersihkan badan. Kalau saja I-Phone nya tidak berdering, Bria pasti sudah tidur.
Hmmm gumam Bria enggan sambil menempelkan benda canggih itu ditelinga kirinya setelah lebih dulu membaca caller ID yang tertera dan mengangkat telpon itu.
Kenapa kamu suruh Pak Budi pulang? tanya Panji tajam dari seberang sana.
Bria menghela napas. Tidak bisakah ia beristirahan sebentar saja?
Karena lebih praktis naik taksi daripada merepotkan Pak Budi, kilah Bria. Bria tahu alasannya benar-benar lemah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan. Tapi Bria lelah. Lelah dengan semua sikap Panji. Memangnya Panji pikir dia tidak tahu bahwa kehadiran Pak Budi hanyalah salah satu akal-akalan Panji untuk mengawasinya?
Alasan macam apa itu! cibir Panji. Dengar Bria
Bria memejamkan matanya dan membiarkan Panji menceramahinya tentang status mereka yang masih resmi sebagai suami istri meski saat ini gugatan cerai Bria telah resmi terdaftar dipengadilan agama. Panji juga menceramahinya tentang tanggung jawabnya sebagai suami dan juga istri.
Sudah? tanya Bria setelah Panji mengomel panjang lebar.
Dasar keras kepala! sembur Panji emosi.
Kalau sudah aku matikan. Aku lelah
Tut tut
Dengan murka Panji melemparkan I-Phone nya ke ranjang king size nya yang masih rapi meski jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Untunglah I-Phone itu hanya terpental dua kali sebelum diam kalau tidak sudah bisa dipastikan bahwa I-Phone itu hanya akan menjadi serpihan-serpihan mengingat betapa marahnya Panji.
Panji tidak tahu harus bagaimana lagi memperlakukan Bria. Dua tahun mereka menikah tapi Panji tak pernah bisa menyentuh hati Bria. Wanita itu tetap diluar jangkauannya, tak peduli sekeras apapun usaha Panji untuk meraihnya. Dengan kasar Panji mengusap wajahnnya frustasi. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Jerit batinnya frustasi.
Satu-satunya harapan Panji demi menjaga Bria tetap dekat telah terlepas sekarang. Bria tak menginginkan Pak Budi-supir kepercayaan Panji-untuk mengantar dan menjemputnya, dan itu berarti tak ada lagi akses bagi Panji untuk mendekati istrinya itu, kecuali untuk acara-acara formal yang membutuhkan kehadiran mereka kedua.
Apakah ini karma untuknya?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Confession
Short Story"Love is simple, but most of people tent to over analyze it" Love, Curse and Hocus Pocus - Karla M. Nashar Ketika pernikahan yang dibangunnya selama dua tahun akan segera berakhir, Abranna akhirnya menyadari bahwa apa yang ia percayai tidak seperti...