Selama sejam terakhir sejak ia meninggalkan kamar Bria, Panji tak bisa menyembunyikan cengiran bahagianya. Apalagi setelah ia menelpon Bara dan mengabarkan pada sahabatnya itu tentang kehamilan Bria, Panji nyaris tak bisa menghilangkan cengiran bahagia itu dari wajahnya. Bara dan juga Rea tentu saja bahagia. Keduanya senang karena akhirnya Panji bisa sedikit waras dan juga senang karena pada akhirnya Panji akan segera memiliki anak, mengingat awalnya kesempatan itu nyaris tidak ada. Panji sendiri hampir tidak mempercayai kenyataan itu. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang ayah. Ayah!
Sambil bersiul-siul pelan, Panji menyusuri koridor rumah sakit sambil menenteng dua paper bag, satu berukuran besar dan satu berukuran kecil, pesanan Nyonya Brantasenawa, istrinya tersayang, Abrianna.
Panji baru saja hendak masuk ke dalam kamar Bria, ketika sayup-sayup Panji mendengar suara isak tangis yang Panji yakin berasal dari kamar Bria. Panji mengenali isak tangis itu. Bagaimanapun Panji pernah terbangun dua kali oleh isak tangis Bria. Isak tangis yang menunjukkan betapa putus asanya wanitanya itu, dan hal itu benar-benar menyakiti hatinya.
Apa Bria tidak menginginkan bayi mereka?
Tanya itu mengusik Panji ketika tangis Bria semakin keras terdengar. Namun seketika keraguan itu lenyap secepat kemunculannya ketika Panji mendengar Bria bicara pada bayinya.
"Apa yang harus bunda lakukan, sayang?"
Meski pelan, Panji bisa mendengar tanya itu cukup jelas. Bahkan Panji bisa menangkap nada sayang dalam suara Bria, meski suara itu sarat akan keputusasaan. Bria kembali terisak-isak dan membuat Panji mati-matian menahan dirinya untuk tidak masuk.
"Apa yang harus bunda lakukan sayang? Apakah bunda harus memaafkan ayahmu? Apakah bunda harus melepaskan semuanya dan memulai semuanya lagi dengan ayahmu?"
Pertanyaan Bria kembali terdengar. Rasanya Panji ingin meneriakkan dua kata iya, tapi lagi-lagi Panji memilih untuk menunggu, membiarkan Bria meluapkan semua perasaannya.
"Bunda mencintainya sayang... bahkan sangat mencintainya... tapi... tapi..." Bria terisak. "Bunda tidak bisa mempercayakan hati bunda pada ayahmu yang tidak mencintai bunda,"
Panji terenyak. Tidak mencintainya? Jadi selama ini Bria berpikir bahwa Panji tidak mencintainya? Apakah itu alasan Bria selalu menjauhinya selama ini? Tak tahan lagi, Panji masuk dan mendapati Bria tengah meringkuk seperti janin dalam kandungan di ranjang rumah sakitnya, sementara kedua tangannya menangkup wajah, berusaha meredam isak tangisnya. Panji menghela napas panjang dan berjalan pelan ke arah Bria. Dengan lembut Panji menarik kedua tangan Bria dan memaksa istrinya itu untuk melihatnya.
"Bria," panggil Panji lembut.
Selama beberapa saat Bria terpaku dan menatap Panji lekat-lekat dari balik air matanya, sebelum wanita itu bangkit dan memeluk Panji erat-erat sambil terisak didada Panji, lelaki yang selama bertahun-tahun ia cintai dalam diam.
"Sssssttttt... tenang sayang... tenang..." bisik Panji sembari membelai punggung Bria, berharap bahwa sentuhan sederhannya itu mampu mereda isak tangis Bria.
"Ap... apa yang harus aku lakukan, Panji?" tanya Bria disela isak tangisnya. "Apakah aku harus memaafkanmu yang menjebakku dan memulai semuanya lagi? Atau menutup mataku dan berpisah?" tanya Bria meski dengan terisak.
Seketika tubuh Panji berubah kaku. Menjebak? Apa maksudnya?
Berusaha selembut mungkin, Panji melepaskan pelukan Bria, mengambil jarak sebelum akhirnya merangkum wajah Bria yang basah oleh air mata dikedua tangannya.
"Menjebak? Apa maksudmu?" tanya Panji bingung yang sedikit meredakan tangisan Bria. Bria mengerutkan keningnya, menatap Panji bingung sambil berusaha mencari kejujuran di mata tajam Panji.
"Kamu menjebakku bukan? Karena itulah kamu bisa menikahiku, karena menjebakku." Jelas Bria dengan suara serak. Bria masih ingat jelas percakapan telpon Panji malam itu.
Kerutan dikening Panji semakin banyak. Apakah Bria tahu?
"Apa maksud kamu?" tanya Panji lagi. Bria-yang entah mengapa-begitu terbuka hari ini, menjelaskan peristiwa malam itu di hari pernikahan mereka ketika tanpa sengaja Bria mendengar percakapan telpon Panji dengan teman-yang-entah-siapa.
Panji terbelalak. "Apakah karena itu kita seperti ini?" tanya Panji kaget. Jujur, ia pikir Bria memperlakukannya seperti ini karena wanita itu tidak mencintainya, bukan karena Bria mendengar percakapannya dengan Bara malam itu. Bria menggigit bibir bawahnya dan mengangguk.
"Demi tuhan, Bria!" erang Panji. "Kenapa kamu tidak bertanya? Kenapa kamu menyimpulkan semuanya sendiri? Kamu pikir kenapa aku menjebakmu untuk menikah denganku kalau aku tidak mencintaimu?"
Kini giliran Bria-lah yang terbelalak. Cinta? Panji mencintainya?
"Apakah itu benar?"
"Ya dan ya." Jawab Panji mantap. "Ya, aku memang menjebakmu. Dan ya, aku melakukannya karena aku mencintaimu,"
Bria terkesiap. Jujur... ia tak pernah menyangka hal ini sebelumnya. Jadi semua ini terjadi hanya karena kesalah pahaman? Jadi... perilaku buruknya selama ini terjadi karena kebodohannya sendiri? Mendadak saja rasa bersalah yang teramat sangat menerjang Bria dan menggulungnya, membuatnya susah untuk bernapas. Bria menundukkan wajahnya dan kembali menangis, bukan karena putus asa, tapi karena menyesal.
"Hei... kenapa menangis sayang?" tanya Panji sembari merangkum lagi wajah Bria dikedua tangannya dan memaksa istrinya itu untuk menatapnya.
"Aku... aku merasa begitu bersalah." Gumam Bria yang berusaha menunduk lagi namun gagal. "Selama dua tahun ini aku memperlakukanmu dengan begitu buruk, aku... aku..." Bria tak sanggup meneruskan kata-katanya dan kembali terisak.
Bohong jika ia bilang ia tidak mencintai lelaki ini, nyatanya entah sejak kapan lelaki ini mampu menempati sebagian besar hati Bria, membuat Bria begitu terluka ketika berpikir lelaki itu hanya akan memanfaatkannya.
"Sssssttttt... sudah... sudah... tidak apa-apa," gumam Panji berusaha menenangkan Bria dan kembali memeluk wanitanya itu, membenamkan isak tangis Bria didadanya. "Semua yang berlalu biarlah berlalu, sayang. Sekarang yang terpenting adalah saat ini dan juga masa depan kita bertiga,"
"Kita bertiga?" tanya Bria disela isak tangisnya.
"Tentu saja kita bertiga. Aku, kamu dan anak kita,"
Bria melepaskan pelukannya dan menatap Panji lekat-lekat. Saat ini Panji tersenyum padanya, senyum tulus yang tak pernah absen Panji sunggingkan untuknya.
"Kamu memaafkanku?" tanya Bria tak percaya. Bria masih ingat setiap perilaku buruknya pada Panji, perilaku buruk yang sejujurnya juga menyakitinya. Bagaimana mungkin Panji memaafkannya begitu saja? Jika pun mungkin terbuat dari apakah hati suaminya ini?
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, okay? Asal kamu selalu ada bersamaku dan anak-anak kita, maka tidak perlu ada yang dimaafkan," jawab Panji mantap sambil menyeka air mata Bria. Bria tersenyum lebar sebelum memeluk Panji-suaminya-dengan sangat erat.
"Aku mencintaimu," bisik Bria pelan.
"Aku jauh lebihmencintaimu," balas Panji.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Confession
Short Story"Love is simple, but most of people tent to over analyze it" Love, Curse and Hocus Pocus - Karla M. Nashar Ketika pernikahan yang dibangunnya selama dua tahun akan segera berakhir, Abranna akhirnya menyadari bahwa apa yang ia percayai tidak seperti...