3. Destiny Or Coincidence?

10 1 0
                                    

Aku : Syila

Heart, Destiny and Hope

Dia datang membawa luka, pergi dan tak kembali menyembuhkannya. Ada maksud tuan itu datang, bukan datang melepas rindu kepada istri dan anaknya.

Kukira akan datang memperbaikki hal yang telah ia pecahkan. Namun baru aku sadari, sesuatu yang pecah tidak akan sepenuhnya menutup dengan baik. Akan ada retakan yang menjadi tanda bahwa ia disakiti.

Ayah...

Sosok yang menghapus kehangatan di dalam diriku.

***

Destiny Or Coincidence?

"Takdir atau Kebetulan?"

Pilihan ibu untuk lari dari ayah adalah pilihan terburuk, pikirku waktu itu. Sebab kami sudah terlanjur hidup dengan ayah sudah cukup lama dan tiba-tiba kami memutuskan untuk tidak lagi menjalani hidup tanpanya. Membuat suatu keadaan yang berbanding terbalik dengan cukup tiba-tiba.

Awal pula, aku berfikir jika lebih baik untuk tidak mengetahui semua kebohongan ayah. Setidaknya dengan demikian akan menjadi baik-baik saja.

Namun semua sangkaanku salah. Itu adalah pilihan terbaik untuk kita. Adapun untuk tidak mengetahuinya, kupikir sampai kapan kami akan dibohongi? Ataupun akankah kami bertahan jika pura-pura tidak tau? Kami tidak akan mampu, maka dari itu pergi adalah pilihan terbaik untuk kami berdua.

Hari ayah datang bersama putrinya yang lain adalah hari yang buruk untukku. Atas dasar apa ayah membawa putrinya yang lain di depanku? untuk membuktikan jika kehidupannya lebih baik daripad saya? Aku akan menerima kedatangannya jika sikapnya juga baik. aku tidak sekanak-kanakkan itu jika dia dan ayah deluan memulainya.

Waktu itu ayah mengajak aku makan diluar. Jangan tanya keadaan mobil, suasananya sedingin es. Bahkan bergerakpun terasa kikkuk.

Ahh... kebetulan ayah membawa putri lainnya. Maka dari itu aku akan memperkenalkannya. Jika pertemuaan pertama aku masih kecil untuk memperkenalkannya, maka dari itu aku rasa sudah cukup besar untuk memperkenalkannya.

Seorang putri yang cantik jelita, berkulit putih, dengan postur tubuh ideal untuk anak perempun seusianya, berusia 12 tahun, hidung mancung, mata hitam pekat dan berambut hitam panjang yang dikucir. Nama anak perempuan itu adalah Sarah Febrina Putri Hariz. Ayah memberikan tanda namanya dibelakang namanya sedangkan aku tidak sama sekali, seakan menandakan bahwa dia bangga mempunyai anak bernama sarah.

Sikapnya masih seangkuh waktu kami bertemu pertama kali. Cukup lucu kami hanya berselisih satu tahu. Berarti selama itu dan senekat itu ayah membohongi

Keadaan membuatku tidak nyaman bersama mereka ketika mereka mulai membuka pertanyaan. Sekolah bagaimana? Dirumah bagaimana? Teman-teman bagaimana?

Tidak ada yang salah dari pertanyaan ayah. Namun selingan kalimat yang akan dilontarkan setelah jawabanku terucap. Hal itu adalah satu atau beberapa kalimat yang akan kubenci se-umur hidupku.

"Sekolah baik" ucapku.

"Sekolah dimana?" tanya ayahku.

"Smp negeri nusa bangsa, yah"

"Ahh.... Sekolah ujung aspal itu yah? Aku tau ayah, kata temanku disana banyak murid nakal" tambah sarah.

"Lah kalau begitu, kenapa syila sekolah disana? Kalau syila ikut ayah syila akan sekolah yang bagus. Seperti sarah" tambah ayah.

"Hmm... iya yah..." nafas yang sangat berat.

"Dirumah bagaimana?"

"Dirumah selalu baik ayah" ucapku

Aku : Syila (Heart, Destiny and Hope)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang