❛ four

946 150 46
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Japan, 2006

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Japan, 2006.

━━━━━━━━━━━━━━━━━

NETRANYA TAK SEDETIK PUN BERALIH. Terkunci pula memandang akan entah apa. Ciptakan ribuan kalimat tanya dalam benak saudara, yang kini mengotak-atik ponsel sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam saku. Memiringkan kepala, tak ada kurva gila meski hati tengah gundah. Sebenarnya, kemanakah sang laksmi tengah memandang?

Izana menoleh. Guna ikut pandangi apa yang ditatap oleh gadis itu sejak tadi. Lembayung tertutup kelopak dalam jangka kurang sedetik, untuk setelahnya disambut dua insan muda. Senyum begitu hangat pada sesama, layaknya remaja kasmaran.

Langkah kaki mendekat, guna keluarkan tangan dari saku. Tuan bersurai salju menggenggam karantala sang laksmi. Dapati gadis yang tersentak, menoleh dengan raut yang tampak bimbang.

"Apa?"

Populasi berdengung. Ketika larik tanya ciptakan detak jantung berpacu cepat. Panik. Namun tangan yang hendak dihempaskan segera ditahan. Digenggam begitu erat hingga sakit terasa jelas.

"Kau masih menyukai Haitani Ran, ya?"

Puan mendesis. Berikan hempasan kasar, kemudian berbalik badan. Tak melangkah lebih jauh, menunggu eksistensi taruna mendekat. Setelahnya wajah sedikit menoleh, guna memicingkan mata sebelum akhirnya berujar pelan.

"Bukan urusanmu. Apakah aku menyukai Rana atau tidak."

"Itu urusanku, (Name). Segala tentangmu. Dan namanya Ran, bukan Rana."

Kekehan terdengar. Setelahnya daksa kembali berbalik. Berhadapan dengan bahadur, halangi jalan kerumunan manusia. Enggan menegur maupun melapor, agaknya sudah tak nyaman dengan atmosfer yang begitu pengap di antara mereka.

Sama.

Rupa yang sama, saling memandang.

"Hormati aku, Izana."

Karantala dingin menyapa pipi. Menusuk pori-pori, kala permukaan kulit laksana es menyapa lembut. Dielus perlahan dengan penuh kasih sayang, bersamaan dengan kontrasnya nada ngeri. Kala labium itu terbuka guna keluarkan larik kata.

"Maaf, Onee-sama."

•••

Izana memiringkan kepalanya. Menatap bingung akan kakak kembarnya yang duduk di hadapan meja rias. Asing, sebab senyum tipis kala jemarinya diselipkan pada helai, tak lagi disaksikan. Melainkan memandang kosong refleksi diri. Sementara kepalan tangan kian menguat.

"Onee-sama, kau tak lagi mengepang rambutmu?"

Karena itu adalah kesukaanmu.

Bulu kuduk berdiri, pada taruna di ambang pintu. Setelahnya mengerutkan kening kala gadis dalam ruang menoleh. Durja pucat berlapiskan lara, telah melepas topengnya.

Begitu pucat, begitu sembab matanya.

"Tidak, Izana."

Lidah kelu seketika.

"Mengapa ... "

Izana begitu lemah di hadapan kakaknya. Sosok gadis yang begitu ia sayangi, yang ia jaga serta lindungi. Bersama menempuh lika-liku kehidupan. Beratnya beban yang ada di atas pundak mereka. Bagi ia, (Name) adalah gadis yang kuat. Tak kenal lelah, tak kenal menyerah.

Namun sejak kapan, kakaknya menjadi begitu rapuh?

"... kamu berubah, Onee-sama. Dan kupikir, ini sudah saatnya kamu untuk berhenti."

(Name) terdiam. Memiringkan kepalanya tak paham kemudian bertanya.

"Berhenti?"

"Berhenti, Onee-sama. Berhenti sebelum kau jatuh lebih dalam."

•••

Laksmi tak peduli.

Rentan hati adalah saat tepat baginya untuk mengisi sebuah kekosongan. Buang saja semua bagian dirinya, biar wanita itu mengisi. Laksana lakon drama, izinkan ia menjadi tokoh utamanya.

"Nee-san."

Adiratna rasakan sembilu mengiris jantungnya. Hingga ludira dalam tubuh berhenti mengalir, sebuah palu menghantam dada. Menimbulkan rasa sakit tiada tara. Walau tahu, bahwa pasti bukan namanyalah yang terucap.

Kendati begitu, netra milik laksmi mengerling. Bersirobok dengan tuan, kemudian pertahankan garis kurva.

"Ya, Rana?"

Nada yang begitu lembut, berlumuskan kasih sayang semu. Kalimat yang ia sampaikan pada taruna jangkung bagai syaulam. Telah membiusnya, laksana obat yang menyembuhkan.

Namun, apakah benar?

Benarkah, bila ia telah menjadi obatnya?

"Nee-san tidak pernah memanggilku seperti itu."

Labium kembali mengatup. Lidah kelu kala bagian terdalam relung hati menjerit, guna mengatakan jati diri.

Namun sayang, hatinya lebih dulu bergerak. Menatap dengan pandangan berkabut, kala bibirnya memaksa ucapkan kalimat.

"... Ran."

Elusan hangat pada pipinya nyata. Pula dengan taruna di hadapannya. Sukar dipercaya bila sosok yang selalu dicintainya dalam diam, kini muncul serta membisikkan syair cinta.

"Ya, Nee-san."

Betapa bodohnya, betapa naifnya.

Apakah dengan berpura-pura, wanita itu akan kembali hidup? Apakah dengan melupakan jati diri, Ran akan mencintaimu? Apakah dengan ... menutup telinga serta membutakan mata, abai akan nasehat bahadur, akan ada yang berubah?

Tidak, tidak tahu.

Baik dia, kamu, maupun semesta. Biarlah sang penguasa, serta bergeraknya roda. Akan takdir yang telah ditulis secara rapi di atas buku. Dengan penuh perasaan menoreh perkamen.

Detik terus berjalan. Roda terus berputar. Suar dalam lara tak hilang. Mengundang nelangsa. Akan lanjutnya sebuah kisah.

Tentang mereka.

Karena mereka sesungguhnya pun tahu, bahwa bulan tak dapat bersinar sebagaimana hangat terangnya matahari.

Dan, kau paham maksudku kan?

•••

22 September 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐄𝐋𝐄𝐆𝐈! haitaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang