7. Sour Seventeen

175 58 36
                                    



Kubuka toples berbentuk persegi yang berisi silica gel, dengan tangan yang sudah terlapis sarung tangan plastik, aku sisir butiran-butiran tersebut dan menemukan apa yang kucari. Setangkai bunga yang Gama berikan untukku di atap tempo lalu. Kelopak bunga mawar tersebut telah mengering sempurna namun tidak tampak layu setelah dikubur dengan bubuk silica gel, cara praktis mengawetkan bunga hidup.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan perasaanku sekarang. Haruskah aku mengkonfirmasi sikap Gama kemarin di bioskop dan perihal bunga yang ia berikan? Atau langsung saja kukatakan isi hatiku?

"Gemi," panggil Bunda dari pintu kamar.

"Iya Bun?"

"Kok ngelamun. Ayo kita berangkat sekarang."

Aku segera beranjak dari kursi. Menghampiri Bunda. Kami akan jalan-jalan ke taman kota. Membeli beberapa cemilan dan minuman dingin untuk dinikmati bersama. Mira paling suka kalau kami ke kebun binatang atau taman yang ada air mancurnya. Menemani Mira jalan-jalan bersama Bunda adalah salah satu agenda rutin kami sebulan sekali. Ayah tidak pernah ikut. Sebenarnya, Ayah tidak menyukai kegiatan menampakkan dirinya di muka publik bersama istri dan dua putri kembarnya. Ayah lebih suka mengajakku saja jika harus makan di luar atau sesekali berbelanja, membeli pakaian, sepatu atau acara sosial di rumah sakit tempat Ayah bekerja.

Bukan, Ayahku bukan malu dengan kondisi salah satu putrinya. Ayah menyayangi Mira sama seperti dia sayang padaku. Hanya saja, Ayah tak sanggup menahan emosi jika melihat reaksi orang-orang pada istri dan putri-putrinya. Bagaimanpun Ayahku tampan, Bunda cantik. Mereka sehat segar bugar dan tidak punya riwayat penyakit apapun. Melahirkan anak kembar adalah anugerah bagi Ayah dan Bunda. Tapi tidak untuk Opa dan kedua Oma serta sanak saudaraku. Kata mereka, Mira cacat karena Bunda dulunya seorang alkoholic. Padahal Bunda sudah tidak pernah menyentuh minuman seperti itu sejak menjadi pacar Ayah. Dan tidak mungkin Bunda mengkonsumsi alkohol ketika sedang mengandung.

Bunda tidak akrab dengan para ipar. Para ipar membencinya. Kata Bunda, itu terjadi karena sebelumnya Ayah sudah dipasangkan dengan calon pilihan Oma dan Opa. Sejarah pelik seperti inilah yang membuat takut jika aku menginginkan Gama jadi milikku. Belum lagi perkara keunikan Mira jika teman-temanku tahu. Masih terngiang-ngiang ucapan para tante dan om yang sering mengomentari keluargaku.

"Yang satunya gak cacat?"

"Normal kayaknya, tapi gak tau deh."

"Bisa jadi sama, kan keturunan."

Sedih rasanya dianggap aib dalam keluarga besar. Seolah Mira adalah bercak menjijikan yang merusak nama keluarga. Padahal Mira hanyalah korban dari musibah, ketika Bunda terjatuh dan melalui proses melahirkan yang menyakitkan, Mira terlilit tali pusar di lehernya sejak di dalam kandungan. Itu bukan keinginan siapapun. Saraf motoris dan sensoris serta kondisi psikologi Mira berkembang sangat lambat dibanding anak seusianya. Saat ini kecerdasan emosional Mira kira-kira setara dengan anak berusia 9 tahun. Padahal sebentar lagi aku dan Mira akan berulang tahun yang ketujuh belas.

Tahun lalu, aku merayakannya di paviliun bersama Ayah dan Bunda. Ayah sudah jera membawa Mira ke restoran. Terakhir kali kami membawa Mira ke sebuah kafe, Mira tanpa sengaja menumpahkan es krim ke lantai, dan ia mengamuk. Menangis dan menjerit hanya karena es krimnya tumpah. Ayah dan Bunda sempat bertengkar di rumah setelahnya. Ayah berteriak frustrasi. Bunda menangis. Hanya aku sendiri yang tidak menunjukkan emosi. Aku pikir, aku harus bisa mengendalikan diri, jangan membebani, jangan menambah-nambahi.

💔💔💔


Aku tidak pernah menduga kalau hari ulang tahunku yang ketujuh belas akan berubah jadi mimpi buruk. Aku tidak tahu bahwa di hari aku memilih untuk bolos sekolah dan menghabiskan waktu di paviliun bersama Mira dan Bunda untuk merayakan ulang tahun kami adalah keputusan salah.

Tersimpan Di Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang