18. Jejak

161 54 34
                                    




Waktu yang berjalan hanya menepikan rasa ini sementara,
Namun apa yang kutitip pada jagat raya,
Punya cara sendiri untuk sampai ke tujuannya.

Benang yang kau ulurkan begitu tipis,
Kalau terputus pun, kau tidak menyadari,
Namun langkahku akan langsung terhenti.
Terlempar jauh dalam dimensi lain tak bertepi.
Tersisa aku, remah-remah rasa dan sendiri.

Serupa pohon yang normalnya berfotosintesis,
Namun mataharinya telah kau bawa pergi.
Dan hujanmu tak pernah sampai pada akarnya.
Tandus... Layu.... Dan tak bertumbuh lagi.

.....


A/N : puisi ini boleh kalian simpan, tapi tolong cantumkan sumbernya 😊

.....





"Aku udah telpon. Berkali-kali. Tapi kamu gak jawab."

Lagi. Pembahasan yang sudah pernah diulas sampai lelah itu kembali diungkit Haka padanya. Gemi pun masih dengan alasan yang kurang lebih sama.

"Aku baru selesai kuis. Siang aku makan mepet waktu. Barusan tadi juga diburu waktu. Hape ku masih silent. Sorry."

Haka masih tidak puas. "Masa kamu gak ngecek pesan juga? Lagian aku nelpon gak sekali dua kali, Gem. Apa susahnya sih ngasi kabar?"

"Haka, kamu tau aku bukan tipe yang megang hape terus-terusan."

Bagi Haka, komunikasi adalah kunci sebuah hubungan. Sibuk atau tidak, saling memberi kabar atau merespon satu sama lain itu penting dan wajib hukumnya. Prioritas utama dalam hubungan. Kalau dilanggar, Haka bakal marah—

"Sesibuk apa sampai untuk balas pesanku gak bisa?"

—dan menuntut penjelasan.

"Kurang dari semenit," tandas Haka. "Apa susahnya kamu sempatkan diri cek hape sebentar? Gak sampai makan waktu lama. Kurang dari semenit yang bisa bikin kamu dan aku sama-sama tenang untuk berjam-jam kemudian."

Kalau sudah begini, Gemi akui Haka benar. "Maaf, aku salah."

Rahang Haka kembali merapat. Kesal masih tampak dalam sorot matanya. Ujungnya selalu begini, Gemi tidak memperpanjang protesnya dengan permintaan maaf. Tapi jelas ini lingkaran setan. Setelah ini mungkin Gemi akan memprioritaskan komunikasi mereka, namun pada akhirnya kondisi ini akan berulang kembali. Selalu. Biasanya. Sering.

Haka mengusap wajah. "Sebenarnya kamu sungguhan atau enggak sih sama aku, Gem?"

.....





Di dunia ini, hal yang Gemi percaya tidak bisa diganggu gugat adalah takdir Tuhan. Sifatnya mutlak, tidak bisa diubah. Memangnya ada manusia yang bisa merubah takdirnya? Gemi bertemu dengan beberapa manusia dalam hidupnya. Dan seumur-umur baru inilah Gemi melihat manusia seperti Raden Haka Prahestu. Penuh kharisma, cerdas, dominan tapi sangat bisa diterima. Seniornya betul, Haka ini tipe manusia yang mendorong manusia lain untuk bertindak semaksimal mungkin, sampai batas kemampuan. Bahkan bila perlu, membelokkan takdir yang telah digariskan Tuhan. Bagai memilih dan memilah jalan kehidupan, multi universe telah ditulis dan ditentukan Sang Pencipta. Tinggal manusia itu sendiri, mau menceburkan diri ke takdir yang mana.

.....


"Kamu bilang apa tadi?!"

Tatapan Ayah terasa menusuk tajam. Gemi berusaha tenang dan mengulangi kalimatnya. "Gemi gak mau jadi dokter, Yah."

Tersimpan Di Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang