2. Four Friends

226 57 21
                                    



"Kenapa lo belum punya pacar Gam?" tanya Kafka suatu hari ketika kami berempat tengah menyantap nasi goreng.

Gama berpikir sejenak sebelum menjawab. "Belum kepikiran."

"Masa gak kepikiran???" seru Kafka heran. "Itu cewek-cewek yang tiap hari nontonin anak Lensa syuting pada naksir elu, Gam."

Syifa ikutan menyahut. "Tau nih Gama, udah banyak yang ngode padahal."

"Masa?" Gama tampak tidak tertarik.

Kafka berdecak. Tak habis pikir ternyata si star sendiri malah gak tahu. "Lo gak baca komen-komen di video Lensa yang di-upload? Komen para cewek terutama."

"Betul! Sejak ada Gama, viewers-nya nambah parah!" timpal Syifa.

Kening Gama berkerut. "Bukannya itu karena ada Nesya? Kan dia selebgram. Promosin chanel kalian di Instagram makanya rame."

"Ya itu juga sih," aku Syifa. "Tapi Gam, sebagian besar komen emang fokus ke kalian berdua sih."

Aku diam mendengar obrolan tiga sahabat baikku. Karena aku satu-satunya manusia di luar Lensa, jadi tak ada yang bisa aku timbrungi. Mengenai Adora Nesya yang cantik dan kaya raya, juga bukan urusanku. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mengunyah nasi goreng.

"Menurut lo Nesya cantik gak, Gam?" tanya Syifa.

Entah kenapa aku merasa jawaban Gama sangat penting buatku. Sudah beberapa bulan ini Gama dan Nesya tampak dekat. Belum lagi ke-uwu-an mereka di film pendek yang diproduksi Lensa dengan sangat epic. Hanya berdurasi belasan menit, tapi sangat luar biasa antusias penonton. Bahkan salah satu anak Lensa yang katanya penulis di Wattpad berencana mem-film-kan novelnya menjadi webseries dan sudah mendapat respon para pembacanya. Nama Gama dan Nesya disebut-sebut sebagai pemain utamanya. Kabar ini, entah bagaimana, membuatku sedikit sesak.

"Nesya ya?" Gama merenung beberapa detik. "Dia baik, cantik. Berbakat."

Jawaban Gama membuat Kafka dan Syifa kompak bertukar pandang kesal.

"Standar banget sih, Gam!" keluh Syifa.

Selesai mengunyah suapannya, Gama langsung merespon keluhan Syifa. "Standar gimana maksudnya?"

"Ck." Syifa cuma mengangkat bahu dan kembali menyuap nasinya.

Kafka malah tergelak seraya memukul bahu Gama di sampingnya. "Lo gak peka nih, Gam."

Aku memandang wajah Gama yang duduk di depanku. Detik itu juga, bumi seperti berhenti berputar, isinya seperti membeku. Semua pergerakan di sekitar kami terasa membeku dan memudar, dan hening seakan melingkupi aku dan Gama.

Senyuman Gama dan tatapannya padaku adalah penyebabnya. Seolah aku dan dia masuk ke dimensi lain. Seolah kami berdua terhisap ke dunia paralel tanpa manusia lain. Sensasi yang hanya berlangsung beberapa detik itu kupastikan kekal abadi dalam memori kami-aku maksudnya. Tidak tahu kalau Gama. Tatapan mataku dan Gama terputus ketika Syifa tersedak kerupuk yang ia kunyah.

"Pelan-pelan, sayang." Kafka menepuk pelan punggung pacarnya. Syifa buru-buru menyeruput air minumnnya.

"Gak apa-apa, Fa?" tanyaku.

"Iya, aman."

"Ngomong-ngomong, kenapa Gemi juga gak pacaran?" tanya Gama. Aku langsung menatapnya lagi.

Aku tidak perlu menjawab sebab dua manusia yang lebih dulu mengenalku dibanding Gama kini bersuara.

"Yaah kalau Gemi jangan lo tanya deh," tukas Kafka.

"Ho oh, Gemi itu kalau udah disodorin cowok, secakep apapun, dia gak akan ngiler. Yang ada malah dicuekin," ungkap Syifa.

Gama menatapku lurus. "Ya tapi kenapa? Pasti ada alasannya kan?"

Betul. Memang aku punya alasan sendiri. Dibanding memikirkan hal seremeh pacaran di bangku sekolah, otak ini lebih banyak kugunakan untuk memikirkan hal-hal yang serius, jauh lebih serius daripada perkara remaja di sekolah. Ah, panjang kalau kuceritakan. Yang jelas ada banyak pertimbangan yang membuatku tidak ingin berpacaran. Dan sampai saat ini, aku selalu berhasil menghindari topik ini dari Syifa dan Kafka sejak kami kelas sepuluh. Aku tidak ingin punya pacar lantas melupakan prioritasku, atau terjebak dengan satu manusia yang kelak akan menuntut seluruh perhatianku.

"Iya ya, kalau dipikir emang aneh. Kenapa, Gem? Kenapa lo gak mau pacaran? Kenapa dulu pas kelas sepuluh Enggar lo tolak, Haikal lo cuekin dan Adjie malah lo sodorin cewek lain di Fokus. Why?"

Tatapan penuh tanya dan introgasi dari Syifa mulai merongrongku. Gama menunggu. Dan Kafka malah sudah selesai dengan nasi gorengnya, sehingga memusatkan atensinya padaku. Hei, kenapa jadi membicarakan aku? Perasaan tadi topiknya Gama dan Nesya.

"Apapun alasannya, semoga bukan lesbi," doa Kafka. Aku mendengus kesal.

"Gak mungkin," sahut Gama sambil menggulirkan matanya dariku ke arah Kafka dan Syifa. "Gemi pernah ngeliatin postingan instagram Daniel Adnan. Sampai senyam senyum."

Astaga, aku tidak tahu kalau waktu itu Gama memperhatikanku.

"Lesbi gak mungkin begitu kan," imbuh Gama.

"Iya ya. Berarti emang jual mahal aja anaknya," simpul Kafka.

"Selera lo tinggi amat, Gem. Di sekolah kita mana ada yang secakep itu." Syifa turut menimpali. "Eh tapi Gama cakep."

Kafka tak rela Syifa memuju Gama. "Aku lebih cakep, Yang?"

"Iya ya, cakep. Kalau gak cakep mana mungkin gue terima. Paket lengkap, cakep, baik gak pelit," papar Syifa kemudian kembali fokus padaku. "Kok betah ngejomblo, Gem? Gak kepengen pacaran?"

"Ya pokoknya aku belum mau pacaran aja. Begini enak," jawabku. Asal.

"Kalau orang yang lo suka ada?" Pertanyaan Kafka ini membuatku tertegun.

Tentu saja aku punya orang yang aku sukai. Tidak ingin pacaran, bukan berarti aku tak pernah jatuh cinta. Aku bukan tipe yang gampang curhat pada siapapun. Kalau masih bisa ditahan, ya aku simpan sendiri. Sulit sekali mengungkapkan hal seserius ini di saat makan nasi goreng pinggir jalan, secara random, di malam hari, dengan tiga manusia sekaligus kan??? Dan yang aku suka itu...

"Gak perlu dijawab, Gem." Ucapan Gama ini langsung membuyarkan fokusku. "Kayaknya Gemi gak nyaman sama topik ini. Apapun itu, yang pasti ada alasannya kan."

Kafka setuju dengan Gama. Syifa berhenti memberiku tatapan menyelidik. Aku menghela napas, yasudah. Apa yang menjadi rahasia maka biar saja menjadi rahasia. Obrolan berlanjut mengarah ke agenda Lensa. Nama Adora Nesya kembali disebut. Nafsu makanku hilang sudah, nasi gorengku tidak kuhabiskan.

Aku menghela napas, kali ini lebih perlahan dan tanpa kentara. Kenapa pula aku sekecewa ini? Sebaiknya aku tidak berlebihan. Lagipula, bukan aku tokoh utamanya.




💔💔💔

Jangan lupa vote dan tinggalkan jejak 😉

Tersimpan Di Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang