CHAPTER III

10 3 0
                                    

Nora sudah berbincang dengan orang tuanya di rumah. Orang tuanya sangat setuju dan mendukung Nora sepenuhnya. Nora semakin giat mengerjakan soal-soal latihan olimpiade dan soal-soal tes beasiswanya. Semua kekuatannya akan ia kerahkan untuk dapet beasiswa ini.

     Nora sedang mengerjakan soal-soalnya di kelas seorang diri saat jam makan siang, Ia sangat lapar tetapi ia berusaha untuk melupakan rasa laparnya dengan fokus mengerjakan soal-soal tersebut. Seseorang datang dari luar kelas, dan mendekati Nora dengan rasa penasaran dan angkuhnya.

     "Lu, ngapain Nora di kelas sendirian? Mau maling barang anak kelas ya?" Dita datang dengan tangan yang dilipat dan menatap Nora dengan tatapan curiganya.

     "Lagi ngerjain soal-soal Dit, ngga bakal aneh-aneh kok," Nora sangat kaget saat dituduh oleh Dita, karena ia takut Dita akan membuat berita yang tidak benar untuk menjatuhkannya.

     Semua anak kelasnya pun sangat percaya kepada Dita dibandingkan dengan Nora, dan sebaiknya Nora mengalah daripada harus menambah masalah baru.

     "Mana bisa gue percaya gitu aja sama Lu. Sini gue liat ini apaan" Dita menarik kertas soal-soal latihan tes beasiswanya dan memperhatikan isinya, tanpa ada penolakan Nora membiarkan Dita melihan soal-soal latihannya.

     "Oh jadi Lu mau ikut tes beasiswa, emang nya yakin bisa masuk?" tanya Dita dengan sinis.

     "Apa salahnya mencoba Dit. Aku bukan dari keluarga yang berduit jadi ini satu-satunya cara bisa kuliah," kata Nora.

     "Yaelah malah curhat. Gue yakin gak bakal bisa masuk dah. Kan tahu sendiri tiga tahun ini ngga ada yang pernah bisa masuk. Udah nyerah aja!" Dita terus ingin mematahkan semangat Nora.

     Tapi Nora tahu ini adalah salah satu rintangan yang ingin membuat dia menyerah.

     "Kenapa bisa seyakin itu?" dengan memberanikan diri Nora bertanya kepada Dita.

     "Lu bisa liat abang gue, angkatan dua tahun lalu. Dia percaya sama kata-kata Bu Ara dengan ikut beasiswa, dan ngerjain semua soal-soal dari Bu Ara. Tapi apa? Soal tesnya gak sesuai, dia gagal," mata Dita berkaca-kaca.

     Nora tidak tahu kenapa Dita sangat sedih saat menceritakan tentang abangnya. Nora hanya diam, dan tidak berani berkata apa-apa lagi.

     "Satu-satunya cara biar Lu bisa thau gimana model soalnya ya Lu pergi ke bimbelnya sekolah. Dan itu ngga murah, itu kenapa gue bilang. Berhenti aja, Nyett. Lu ngga bakal berhasil!" kata Dita dan ia meninggalkan Nora dengan cepat karena Ia tidak ingin keliatan lemah di mata orang lain.

     Nora berpikir keras lagi. Bimbel? Gimana bisa dapet uang untuk bimbel?

***

     Nora memutuskan setelah pulang sekolah ia mampir ke tempat Bimbel sekolahyang berada di seberang sekolahnya. Ia menatap bangunan Bimbel milik sekolahnya. Terlihat beberapa murid memasuki gedung Bimbel dengan kesungguhan terpancar dari wajah mereka. Nora merasa anak-anak itu sangat beruntung karena mereka dengan mudah mendapat pelajaran tambahan karena latar belakang orang yang mampu. Namun, Nora tidak boleh merasa iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Ia juga bersyukur atas hidupnya sekarang dan ia hanya perlu lebih berusaha menggapai apa yang ia cita-citakan.

     "Kenapa diem aja di depan? Gak mau masuk?" tanya seseorang dari belakang yang mengagetkannya.

    Dengan spontan Nora berbalik dan tak disangka yang menegurnya adalah Faresta cowok populer di sekolahnya sekaligus orang yang dia sukai.

     "Hah? Cuma mau liat aja kok, hehe" jawab Nora dengan gugup dan merasa tidak percaya diri berada di dekat Faresta.

     "Apa yang mau Lu tahu dari Bimbel ini? Nanti gue kasih tau," kata Faresta.

     "Hmm beneran ngga papa mau nanya?" tanya Nora.

     "Sejak kapan gue ngelarang orang mau nanya, dasar aneh" jawab Faresta ketus.

     Hal teraneh yang pernah Nora rasakan adalah biasanya Nora selalu merasa sakit hati ketika diejek orang lain. Lian halnya saat Faresta yang mengatakan kalau ia aneh. Hal pertama ia rasakan adalah rasa senang. Ia sangat senang berada dekat Faresta.

     "Biaya untuk ikut Bimble berapa ya?" dengan malu-malu Nora memberanikan diri bertanya itu kepada Faresta.

     Faresta hanya menunjukan ekspresi datar dan biasa saja tanpa senyuman sedikitpun.

     "Total untuk setengah tahun itu kurang lebih 3 juta" jawab Faresta.

     Apa yang dikatakan oleh Faresta membuat Nora kaget dan tidak percaya. Darimana ia dapat uang dengan jumlah sebanyak itu?

***

     Nora berjalan pulang menyusuri trotoar dengan pikiran yang berantakan. Ia harus berpikir bagaimana mendapatkan biaya untuk ikut kegiatan Bimbel. Aroma hidangan makan siang dari berbagai resto yang ia lewati sangat menggoda. Hal itu membuat perut Nora berbunyi tanda ingin segera diisi. Tiba-tiba seorang pria besar dengan pakaian yang Nora yakini memiliki jabatan menyeret keluar pria muda dengan pakaian pelayan dari pintu samping restoran tempat para pekerja nya keluar masuk.

     "Dari minggu lalu saya sudah merasa kamu itu kerja tidak becus. Semua bahan makanan kamu curi" kata pria dengan pakaian rapi itu.

     "Maafkan saya, Pak. Saya melakukan itu karena ada alasannya pak," kata pria dengan pakaian pelayan.

     "Saya tidak peduli dengan alasan kamu. Namanya pencuri tetap saja pencuri!" seru pria yang menjadi atasannya.

     "Ampuni saya pak" pria muda tersebut berlutut minta ampun kepada bosnya yang memelototinya.

     Kejadian tersebut terjadi saat Nora berada di resto sebelahnya, dan tidak hanya Nora yang melihatnya semua pejalan kaki memperhatikan adegan tersebut.

     "PERGI!" usir Bosnya sambil melangkah masuk meninggalkannya lewat pintu samping restoranya.

     Nora merasa tidak tega dengan pria muda tersebut. Ia berlutut dan tampak menangis. Kaki Nora berjalan otomatis ke arah pria tersebut dan ikut berlutut di sampingnya.

    "Ini mungkin tidak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang, namun setidaknya bisa membuat sedikit lebih baik," Nora menyodorkan teh madu hangat yang tadi dia beli di kantin sekolah.

     Pria itu mendongak, terlihat mata nanarnya penuh kesedihan dan penyesalan. Masih belum yakin untuk menerima tawaran Nora, namun dengan anggukan meyakinkan dari Nora pria itupun menerimanya. Nora mengajaknya untuk bangkit berdiri dan duduk di halte bus tidak jauh dari tempat kejadian buruk itu terjadi.

     "Kalau tidak keberatan, Anda boleh cerita kepada saya," kata Nora.

     Sambil menyeruput teh madu dari Nora, pria itu mulai membuka mulutnya.

     "Saya bekerja di resto itu karena dua hal, yang pertama karena untuk mengobati ibu saya yang sedang sakit dan yang kedua tawaran gaji dari resto itu yang cukup besar untuk setara pelayan biasa," Nora masih setia mendengarkan cerita pelayan tersebut yang terjeda.

     "Awalnya saya bekerja dengan biasa tanpa ada masalah apapun, sampai saya sudah bekerja 4 bulan di resto tersebut saya merasa sikap bos sangat tidak pantas kepada saya. Saya dituduh mencuri padahal bukan saya yang mencuri waktu itu, hingga gaji saya dipotong karena ketidaksukaan bos. Lalu akhir-akhir ini, memang saya sedikit mengambil bahan makan di resto," kata ria muda tersebut sambil menitikan air mata.

     Nora yakin umurnya jauh lebih muda dibanding dirinya. Nora bisa belajar dari pria ini. Sekurang-kurangnya kondisi kita, masih ada orang yang jauh lebih kurang dari pada kita.

     "Kamu pasti kuat kok. Usaha itu tidak hanya sekali dua kali kan. Selalu mencoba, banyak jalan untuk mencapai tujuan kita," Nora berkata sambil tersenyum tulus dan membuat pria muda tersebut terlihat lebih baikan dari pada kondisi sebelumnya dan Ia pun ikut tersenyum kepada Nora.

     "Boleh tanya sesuatu?" Nora bertanya pada pria muda tersebut dan dijawab dengan anggukannya.

     "Berapa gaji yang diberikan resto itu?" tanya Nora.

     "Seminggu satu juta, Kak" jawabnya.

     Tiba-tiba terbesit ide dipikiran Nora.

A StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang