Nora menyusuri jalan setapak dengan banyak dedaunan berwarna cokelat. Matahari mulai meninggalkan tempatnya dan petang sudah datang. Nora merasa harinya sangat buruk mendengar bahwa pendapatannya tidak sesuai dengan apa yang harusnya diterima. Hanya dengan alasan ia yang tidak kompeten dalam bekerja, menurutnya hal itu tidak adil. Namun, dia tidak bisa apa-apa.
Suasana hatinya tidak sebaik biasanya, terlihat di wajah Nora yang tidak biasa. Sesampainya ia dirumah, bapak dan ibunya yang sedang duduk di ruang tamu keheranan dengan wajah anak sulungnya itu.
"Sore Bu, Pak. Nora sudah pulang," salam Nora kepada orang tuanya.
"Sore, Ra. Duduk dulu sini," kata Bapak.
Nora pun menuruti bapaknya dan duduk di seberang tempat orang tuanya duduk. Hal seperti ini jarang dilakukan orang tua Nora. Yang Nora tahu bahwa orang tuanya akan berbincang dengannya.
"Ada yang mau dibicarain ya Pak, Bu?" tanya Nora dengan penasaran.
"Nora kelihatan sedang tidak baik suasananya. Ada yang mau Nora ceritakan dengan Ibu?" tanya Ibu kembali.
Nora bingung harus menjawab apa. Semua terlihat dari wajahnya orang tuanya pasti tahu kalau ia ada masalah yang membuat suasana hatinya tidak baik. Mau tidak mau Nora harus berbohong lagi kepada orang tuanya.
"Nora hanya lelah, Bu. Banyak pelajaran yang harus Nora kejar," jawab Nora sambil berusaha menutupi kebohongan di wajahnya.
"Kamu yakin, Nak," tanya ibu dengan penasaran.
"Iya, Bu. Masa Ibu nggak percaya sama Nora, sih?" kata Nora.
"Ibu sama Bapak mau bicarain suatu hal, Ra," ujar ibu dengan wajah yang terlihat sangat khawatir.
Bapak hanya diam tidak melihat Nora, tetapi melihat ke arah bawah.
"Mau bicarain apa?" tanya Nora dengan penasaran.
Ia merasa ada kabar buruk yang akan dibicarakan ibunya, namun apapun itu ia harus siap.
"Begini, karena sudah beberapa minggu terakhir ini Ibu dan Bapak berdagang tidak full karena gantiin kamu untuk jaga adik-adik," Ibu tidak melanjutkan pembicaraannya dan suasana menjadi hening.
Ibu menghela nafas panjang tidak nyaman.
"Uang pendapatan penjualan tidak cukup untuk membayar sekolah mu bulan ini, Ra. Ibu dan Bapak tidak bisa melanjutkan sekolahmu," kata ibu dengan lemah.
Hal ini membuat Nora tidak dapat berkata-kata. Ia merasa kaget. Hatinya hancur. Hal ini membuat suasana hatinya lebih buruk dari sebelumnya. Masalah terus berdatangan seakan akan tidak ada hal baik yang datang.
Ia merasa marah kepada dirinya sendiri yang terlalu egois untuk memenuhi kepentingannya sampai-sampai tidak tmemikirkan nasib orang tuanya. Nora merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya berdiri dari tempatnya dan berlalu dari hadapan orang tuanya yang hanya diam dengan perasaan sedihnya masing-masing.
***
Hari ini di sekolah tampak terlihat lebih ramai. Tidak seperti biasanya. Ada pertandingan basket antar sekolah. Nora duduk di kursi penonton berharap perasaannya bisa lebih baik setelah mendengar pernyataan orang tuanya semalam.
Hari ini Faresta ikut bermain untuk membela sekolah mereka. Banyak siswi sekolahnya yang meneriaki nama Faresta. Tidak diragukan lagi. Faresta merupakan pria idaman siswi sekolahnya. Nora senang saat melihat Faresta karena itu membuat suasana hatinya membaik secara perlahan.
Nora memperhatikan Faresta dari awal permainan hingga akhir permainan. Senyumnya tercetak jelas di wajahnya hingga ia tidak sadar bahwa ada seseorang yang memperhatikan wajahnya sejak awal.
"Eh Nora, tumben-tumbenan mau nonton pertandingan. Biasanya bacain buku-buku Lu. Kesambet apaan dah," kata Ellen yang ternyata duduk tepat dibelakang Nora dengan Dita dan Carla.
Nora terkejut dan menoleh ke sumber suara. Merasa malu jika Nora ketahuan diam-diam suka dengan Faresta.
"Cuma lagi pengen nonton aja kok, Len," kata Nora dengan terbata-bata.
"Kalau cuma mau nonton yang diliat itu semua pemain, bukan cuma satu pemain aja," kata Carla dengan tidak kalah asiknya meledek Nora.
"Engga kok, aku liatin semuanya," ujar Nora berbohong.
Mata Nora tidak pandai berbohong. Matanya akan bergerak kemana-mana dengan panik dan membuat Dita, Carla, dan Ellen mengetahuinya.
"Udah si temen-temen. Kalau emang engga kan bisa kita buktiin," kata Dita yang menenangkan hati Nora karena Dita percaya kepada Nora. Namun, ternyata...
"Faresta!" panggil Dita kepada Faresta yang kebetulan berada di dekat mereka.
"Hey, Dit. Kenapa?" tanya Faresta yang kebetulan berada di dekat mereka.
Nora merasa tidak beres dengan keadaan saat itu. Jika Nora dan teman-temannya berbicara yang tidak benar, ia bisa merasa malu.
"Selamat atas kemenangannya, Res," kata Dita sambil tersenyum senang.
"Keren dah Faresta tadi mainnya. Kebanggaan sekolah," tambah Carla.
"Gue juga salut sama Lu, Res. Apalagi ni, Lu bisa buat temen kita tertarik," kata Ellena sambil menepuk pundak Nora.
Faresta hanya menanggapi mereka dengan tersenyum ringan dan saat Ellena membawa nama Nora. Faresta yang tadinya menatap mereka bertiga langsung menatap Nora dengan tatapan bingung. Nora sudah sangat malu, hingga ia sadar pipinya sudah memerah. Ia akan sangat malu jika ada orang yang mengetahui kalau dia suka sama Faresta.
"Maksudnya?" tanya Faresta yang tidak mengerti maksud perkataan Ellena.
"Jelasin dong, Nora," kata Carla kepada Nora.
Tatapan Faresta mengarah sepenuhnya kepada Nora membuat Nora semakin mati kutu dibuatnya.
"Ayo jawab dong, Nora. Faresta nungguin, nih," kata Dita dengan senyum jahilnya.
"Ngga ada apa-apa," kata Nora dengan cepat dan pergi meninggalkan Dita dan teman-temannya yang tertawa dengan puas.
Faresta yang bingung dengan apa yang terjadi.
Nora berjalan meninggalkan lapangan dengan perasaan kacau. Ia memutuskan untuk pergi menuju kelas. Hingga ia bertemu dengan Bu Wati, wali kelas nya.
"Nora, Ibu bisa bicara sebentar?" tanya Bu Wati.
"Bisa, Bu," jawab Nora sambil mengikuti ke mana Bu Wati pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Struggle
Teen FictionNora anak SMA kelas 11 dengan hidup serba kekurangan seperti orang tuanya hanya penjual nasi uduk dengan penghasilan sedikit, selalu dibully di sekolahnya, tidak memiliki teman, dan perekonomian keluarga yang sulit. Hanya memiliki kepintaran dan cit...