first page; when we were too young

285 18 2
                                    

"HUUEEE KAK IYO GALAK!"

"ENGGAK, Mih, BOHONG! Iih cengeng banget sih Jihan?! Diem, sstt!"

Bocah laki-laki umur lima tahun itu mencoba menutup mulut mengerucut Jihan yang masih mencoba meneriakan aduannya. Sementara seorang anak lainnya tengah anteng memainkan mainan mobil-mobilan miliknya sendiri yang sengaja ia bawa dari rumah.

"AAKK TAKIT!! MAMA KAK IYO NYUBIT PIPI JIAN!" Adu Jihan lagi.

"DIEM JIHAN! Kalo gak diem kakak ceburin ke kolam, mau? Kolam rumah kakak dalem nanti kamu tenggelam, gimana?!"

"Kalian kenapa gak bisa diem tih, ganggu Joan aja!" Sahut Johan yang sedari tadi anteng memainkan mainan mobilnya, tak lupa mulutnya yang sedari tadi mengunyah kue yang disiapkan khusus untuknya, anak yang satu ini tak bisa jika tidak makan sesuatu.

"Joan tana pelgi main aja tama Nata! Jian sama Kak Iyo tuh lagi pacalan tau!" Balas si gadis kecil, Jihan. Rupanya anak itu sudah melupakan dramanya sendiri dan kembali mencoba bergelayut di lengan Aldelio.

"Masa pacalannya belisik tih! Mama sama Papa juga gak pelnah belitik kalo pacalan," Ucap Johan kecil dengan begitu polosnya, matanya mengerjap lucu.

"Meleka 'kan udah dewata, beda sama Jian dan Kak Iyo." Gadis kecil itu masih membalas perkataan Johan, namun kali ini membuat Aldelio yang berada di sampingnya mendelik.

"Kak Iyo tuh udah dewasa, Jihan. Liat Kak Iyo udah tinggi begini itu berarti udah dewasa!" Protes Aldelio.

Johan mengangguk setuju, "Kak Iyo juga udah gak cadel."

"Jian juga gak cadel kok! Joan tama Nata aja yang matih cadel! Jian bisa bilang el, gampang bilang itu!"

"Yang bener tuh, eerrrrrr, bukan eelllll," Ralat Aldelio.

Mendengar dirinya dikoreksi, Jihan mendelik kearah Aldelio, "Kok kakak gak bela pacalnya, tih!"

"Terserah kakaklah! Lagian Jihan emang masih cadel, harusnya gak bisa jadi pacar kakak." Sungut Aldelio.

"Kenapa..." Jihan bertanya dengan lirih, bibir mungil itu mulai bergetar dan mengerucut lucu, pertanda Jihan akan menangis. Bocah lucu itu tampaknya sakit hati dengan perkataan Aldelio.

"Jihan 'kan belum dewasa, masih cadel. Terus kata Johan juga Jihan masih gak bisa nahan pipis kalo malem, sampe celananya basah tiap pagi, pasti bau kencing, 'kan?"

Bibir Jihan semakin melengkung kebawah, bergetar menahan tangis, matanya yang bulat bersih itu juga berkaca-kaca. Johan yang sudah tau aba-aba itu segera menutup telinganya.

"HUUAAAA KAK IYO JAHAT! MAMA KAK IYO JAHAAAT! JOAN JUGA IKUTAN JAHAT! HUUUAA MAMAAAA!"

Jeritan melengking milik Jihan sudah familiar ditelinga Johan, kembarannya, namun tidak bagi Aldelio, lengkingan tangis Jihan masih asing ditelinganya, kadang saat Jihan menangis Aldelio selalu buru-buru bersembunyi karena selalu dirinya yang ditanyai para orang tua. Dan jeritan yang kini melengking itu tampaknya sampai terdengar ke halaman belakang rumah, sampai pada ketiga pasang orang tua yang kini sedang membuat acara kecil-kecilan, mereka tertegun mendengar jeritan anak perempuan satu-satunya yang ada di sana.

"Jihan nangis astaga." Sang Mama dengan segera bangkit hendak menemui anak bocahnya yang terdengar menangis semakin keras di ruang bermain.

Kedua Ibu lainnya ikut bangkit untuk melihat para anak-anak diruang tengah. Jika sudah ada yang menangis, berarti ada yang tak beres.

Nata, anak lainnya yang merupakan anak paling terlambat kelahirannya diantara yang lain sedari tadi berada digendongan Mamanya, anak kecil itu mengerjap melihat Jihan menangis sembari menghentakkan kakinya. Bocah bernama Nata itu berpikir, Jian kenapa ya?

Bucin PersecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang