"Hiks... Hiks... "
Kedua bocah laki-laki saling lempar pandangan, beberapa kali menghembuskan napas kasar, dan juga beberapa kali mengusap dada sabar. Keduanya berakhir jongkok di depan bocah perempuan yang kini tengah menangis sesenggukan.
"Ji, jangan keras-keras, tenggorokannya sakit nanti."
Johan Jakeashi, mengusap tangan kembarannya yang putih dengan lembut, sungguhan, Johan sudah lama tak mendengar suara tangis kembarannya yang seperti ini, biasanya kembarannya ini menangis dengan isakan kecil saja, berbeda dengan sekarang.
"Iya, Ji. Udah ya, kita pulang dulu, ayo."
Nataya Radhika, bocah laki-laki yang beda setahun dengan sepasang kembar itu. Sementara Johan mengusap tangan bocah perempuan itu, Nata giliran mengusap puncak kepalanya. Walau sebenarnya sudah tak asing bocah di depannya ini menangis, namun yang kali ini benar-benar berbeda.
Sementara itu, Jihan Jakeisha, suaranya sudah serak, matanya sudah perih, bokongnya sudah keram kelamaan duduk, namun rasa sesak dalam hatinya tetap sama seperti pertama ia menangis sore ini.
"Ji, ayo pulang," ajak Johan.
Jihan menggeleng, "ka-kalian kok gi-gitu, Jihan 'kan lagi nang-is duluu!"
Nataya menghela panjang, "kita pulang, beli eskrim dulu, gimana?"
Jihan mendongak, ia mulai tergiur namun masih ingin menangis, eskrim saja tak cukup. Jihan kembali menunduk, menyeka air diwajahnya yang terkesan lucu. Nataya yang melihatnya bergumam dalam hati, selevel eskrim udah gak mempan.
Kali ini giliran Johan yang berpikir, bocah itu tersenyum lebar menatap kembarannya, ia genggam tangan putih itu, membuat Jihan menatapnya heran sembari menyedot ingusnya.
"Kita pulang, Jihan digendong, terus kita beli eskrim, mau?" tawar Johan, ia yakin kali ini berhasil.
"Ta-tapi... " bibir bawah Jihan terlihat bergetar, membuat otak Nataya bekerja kembali. "Kita langsung ketemu Kak Lio!" potong Nataya cepat.
Komplit sudah, kedua anak laki-laki itu tersenyum lebar, kali ini pasti, sangat pasti, Jihan bisa mereka bawa pulang.
Jihan menyeka air matanya, sedetik kemudian merentangkan tangannya, "siapa yang gendong Jihan?"
Nataya dan Johan saling tatap, siapa yang bertanggungjawab untuk satu hal itu? Dari tatapan mata keduanya, mereka seperti sedang mendiskusikan, siapa yang akan menggendong bayi perempuan besar di depan mereka.
"Nat!" tegur Johan, Nataya melotot, "Johan 'kan tau, Nata geli sama..."
"Tapi, Nat, Johan 'kan badannya... "
"Johan 'kan kembarannya," sela Nataya.
"Nanti kalo jatuh di jalan gimana? Nangis lagi—"
"HUWAAAA... "
"Nat!"
"Oke! Tapi usapin ingusnya ya, Jo, Johan 'kan tau aku gak suka, geli." Johan mengangguk sebagai balasan.
"Hiks... "
Nataya memberikan punggungnya untuk Jihan yang kini kembali menangis, "naik, Ji."
"Bentar, Johan usapin dulu," Johan bergerak mengusap ingus Jihan dengan lengan bajunya sendiri, kemudian mengusap wajah kembarannya dengan sayang, "udah ya, jangan nangis lagi, kasian Nata geli sama ingus Jihan, Jihan 'kan tau?"
"Heem," Jihan mengangguk mengerti.
Nataya pun mengangkat bocah perempuan yang kini merebahkan kepala padanya. Walau Nataya memang paling muda di sana, namun tubuh Johan terbilang kecil jika dibandingkan dengan Nataya. Entahlah, Johan sendiri tidak mengerti, namun dia berpikir mungkin karena dia anak kembar, jadi ukuran tubuhnya dibagi dua dengan Jihan(?) entahlah, Johan malas berpikir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bucin Persecond
De Todo"Jadi, semenjak pacaran Kak Lio udah sering di sun sama pacar Kakak? Berarti Jihan juga bisa dong!" "Jihan, jangan macem-macem." Jihan, Johan, dan Nataya adalah asuhan Aldelio sejak kecil. Terpaut umur tiga tahun dengan si kembar, dan empat tahun de...