Khawatir.

7.6K 523 34
                                    

Karena kejadian kemarin mark merasakan pinggang nya sangat sakit, hingga memutuskan untuk tak bekerja, untuk sekedar duduk dan berdiri pun mark harus dibantu oleh chanisa.

Chanisa dengan setia menyuapi suaminya, tubuh mark demam pagi ini padahal semalam sang suaminya hanya mengeluh nyeri pada pingang nya.

"Udah." Mark menolak suapan chanisa, mulutnya terasa pahit tak memiliki nafsu makan.

"Kenapa? Masakan aku gak enak ya?" Tanya chanisa, menatap kecewa mark. Suaminya baru makan tiga suapan, itu membuat chanisa khawatir.

"Enak, aku lagi gak nafsu makan aja." Mark meraih gelas dan meneguk air nya, melirik sekilas wajah kecewa istrinya.

"Semangka nya mau di makan sekarang?" Tanya chanisa, menaruh piring makanan dan mengambil semangkuk semangka yang sudah ia potong.

"Iya, masakan kamu enak kok. Aku aja yang lagi gak enak badan."

Chanisa mengangguk paham, kemudian memberi sepotong semangka pada suaminya.

"Mark..."

"Hm."

"Soal pindah..."

Mark menolehkan wajahnya pada chanisa, semalam mereka memutuskan untuk tak membahas masalah ini dan tidur.

"Um, aku mau coba ngomong sama daddy."

Mark semakin memperdalam tatapannya pada sang istri.

"Tapi gak jauh-jauh dari daerah sini ya mark? Aku gak bisa ninggalin momy, dia kadang lupa minum obatnya, momy gak punya temen ngobrol selain aku, kalo kita sewa rumah deket sini, aku masih bisa pulang buat temenin momy kalo kamu kerja."

Mark tertegun mendengar penjelasan istri nya, selama ini ia tak pernah berfikir jauh seperti itu.

"Aku masih punya sedikit tabungan, kalo daddy gak mau kasih uang buat sewa rumah, kita pake itu aja."

Chanisa terisak pelan, semalam ia tak bisa tidur dengan tenang memikirkan bagaimana caranya agar suaminya bisa nyaman tinggal bersama dengan sang keluarga, bukan nya chanisa tak mau harus hidup berdua bersama mark, tapi ada orang yang begitu chanisa khawatirkan.

"Chanie juga udah cerita sama bubu, kalo mark pengen pindah rumah, bubu bilang kalo itu emang bisa buat kalian nyaman silahkan."

Mark tak mengeluarkan sepatah katapun menatap sang istri yang terisak semakin pilu di hadapannya.

"Ayo pindah tapi deket sini ya? Kalo mark udah setuju, chanie bakalan ngomong sama orang tua chanie juga... Mark gak usah takut, chanie gak akan bilang kalo ini keinginan mark, aku pasti bilang kalo ini keputusan aku."

"Hm, ayo."

Mark sejujurnya merasa tak tega tapi, jika mereka harus tinggal dirumah keluarga chanisa, mark pikir tak akan ada kemajuan untuk rumah tangga mereka.

Ini semua demi kebaikan hubungan mereka.

***

Chanisa menangis seharian di dalam kamarnya, merasa bingung harus melakukan apa sekarang? Ia terlalu takut untuk bicara kepada orang tuanya.

Mark tampak acuh tak peduli dengan sang istri yang terus menangis di sampingnya, bukan mark tega melihat istrinya yang seperti itu tapi, ini harus menjadi sebuah pembelajaran bagi chanisa, bahwa sekarang hidupnya tergantung kepada mark bukan lagi keluarganya.

Chanisa bangkit dari ranjang berjalan menuju meja rias untuk memperbaiki sedikit penampilan nya, lalu keluar dari kamar.

Chitta tersenyum menyambut chanisa, namun wajah sang anak terlihat begitu sembab.

"Daddy dimana?" Tanya chanisa, duduk di samping sang ibu.

"Eeh? Lagi mandi, kenapa?" Tanya chitta, ia meraih wajah mungil anaknya menatap mata sembab sang anak.

"Berantem?" Tanya chitta.

"Enggak kok kita baik-baik aja, hmm... mom kalo chanie pindah rumah sama mark gpp?"

"Huh? Kenapa?"

"Chanie cuman pengen bisa nikmatin waktu sama mark aja mom."

"Emang nya kalian mau pindah kemana?"

"Gak jauh di deket sini kok."

Chitta menatap wajah sang anak yang tampak putus asa, ia yakin hubungan anak nya dengan mark sedang tak baik-baik saja.

"Iya boleh, biar momy yang bilang sama daddy. Udah kamu masuk kamar lagi sana, temenin mark."

"Beneran mom?"

"Momy ngerti, kalian pengantin baru, pasti pengen nya berduaan. Udah sana masuk kamar istirahat, jangan banyak pikiran." Chitta mengecup kening chanisaa dengan lembut.

Chanisa sedikit bernafas lega, ternyata tidak se susah itu mendapatakan izin dari orang tuanya, lebih tepatnya dari ibunya sisanya biar sang ibu yang membereskan chanisa percaya pada ibunya.

***

Makan malam tiba, mereka berkumpul di meja makan seperti biasa, chanisa dan mark tampak saling diam satu sama lain tak mengeluarkan sepatah katapun.

Chitta menyadari bahwa anak dan menantunya tengah perang dingin, begitu juga dengan johnny, hendery nampak acuh tak memperhatikan sekitarnya.

"Mark..." Johnny memecah keheningan di meja makan, membuat mark menoleh.

"Iya dad?" Mark menoleh menatap mertuanya.

"Sana pergi bulan madu." Ucap johnny, memberikan dua lembar tiket pesawat pada mark.

"Eh?" Mark cukup terkejut melihat johnny yang memberinya tiket.

Berbeda dengan chanisa yang langsung merebut tiket itu dan membacanya dengan senang.

"PARIS?!" Teriak chanisa, senang melihat jadwal penerbangan pada tiket itu.

"Iya, pulang dari sana harus bawa kabar baik buat kita..." Ucap johnny.

"Bawa kabar kalo cucu kita udah ada di perut kamu." Ucap chitta menatap wajah chanisa yang berseri-seri.

"Iya! Chanie bakalan bawain buat kalian! Makasih banyak ya mom, dad..."

"Terus aku dapet apa? Kok cha—"

"Nikah dulu baru dapet!!! Ayok sayang kita packing." Chanisa menyela ucapan sang kaka, menarik paksa mark yang tengah duduk di meja makan hingga dengan mau tak mau ikut bangkit mengikuti chanisa.

"Hihhhh awas lu! Gue punya istri gue tendang lo!"

Johnny tersenyum bahagia melihat chanisa yang tampak sangat antusias, mudah-mudahan chanisa dan mark melupakan soal pindah rumah~

Johnny tak mau harus berjauhan kembali dengan anak kesayangan nya.

***

D

ahlah susah kalo nunggu dapet komen 30 vote 100 wkwkwk ku up skrg aja.

WARNING

CHAPTER SELANJUTNYA BAKALAN BANYAK ADEGAN 19+

JADI MOHON SIAPKAN MENTAL KALIAN WKWKWK

ENGGAS 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang