Kimberly the Meanie (?)

47 23 0
                                    

Hawa dingin dengan cepat menjalar ke sekujur tubuhku. Berat rasanya untuk mengangkat tubuh ini dan menjauhkannya dari kasur namun bagaimana lagi. Hari baru telah tiba dan kegiatan monoton yang sudah kulakukan setiap hari lebih dari 17 tahun harus kembali kulakukan.

Ketika kumenoleh ke sebelah kiri kasur, di atas meja kecilku, terdapat secarik kertas.

Sarapan sudah selesai, ayah harus pergi lebih awal. maaf seperti biasa ya, Kerwin.

P.s: Mungkin ayah akan pulang lebih lama dari biasanya.

Ya, aku sudah tahu. Itulah yang selalu ayah katakan kepadaku setiap pagi selama tiga bulan terakhir ini.

Tak kusangka, keluarga ini benar-benar seperti buku tanpa lem. Sepeninggal ibuku benar-benar tak ada yang dapat menyatukan kami. Ayahku sibuk bekerja hampir siang dan malam, sedangkan aku sibuk kalut dalam alam pikirku yang tak seberapa ini.

Huh ...

Nafas berat kuhembus keluar dengan harapan rasa kesal dan kecewaku keluar terbang keluar bersamanya.

***

Battery Creek High School, sekolahku. Cukup jauh dari rumahku sehingga aku yang sejak dulu hanya bermodalkan kaki untuk bersekolah terpaksa harus naik bus demi memangkas waktu tempuh. Meski begitu, setelah turun di halte aku harus kembali berjalan beberapa blok lagi sebelum sampai di sekolah yang memiliki lumba-lumba sebagai maskotnya itu.

Selagi aku berjalan sambil melihat ke bawah, men-dribble sebuah batu kerikil, tak sengaja aku menabrak seseorang.

"Maaf-" rasanya seolah-olah tersekat, aku tak mampu melanjutkan apa yang ingin kukatakan ketika aku melihat siapa yang kutabrak.

Dia adalah seorang gadis langsing dengan tinggi sebahuku, memiliki rambut pirang cerah sepunggung dan mengenakan baju merah maroon serta kardigan yang 'ku tak tahu berwarna apa—akan 'ku akui, aku hanya memiliki tujuh warna dalam kosa kataku—dengan celana hitam dan sepatu senada dengan celananya.

"Hai!" sapanya ringan dengan senyum kecil terpatri manis di bibirnya yang tipis dan terbalut lipstik merah muda.

"Hai, Kimberly" jawabku pasrah dan ingin segera melangkah maju meninggalkannya, namun dia malah ikut dan berjalan beriringan di sebelahku. Ketika aku menoleh padanya dengan wajah kesal dia hanya tersenyum seolah tak ada masalah dan berkata.

"Kau menuju ke sekolah 'kan?" Aku mengangguk pasrah, tak mungkin aku mengusirnya bukan? lagi pula, aku tak dapat mengontrol apa yang di luar dari padaku.

Kami berjalan dalam diam menuju halte terdekat, namun sepertinya keadaan diam di antara kami membuatnya tidak nyaman dan memulai pembicaraan.

"Apa kau kesal kepadaku?" aku cukup terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga itu. Untuk beberapa saat aku juga menjadi berpikir, apakah aku kesal kepadanya?

"Tidak, untuk apa?" jawabku serta balik bertanya kepadanya.

"Tentu saja karna bersifat menyebalkan" balasnya ringan seolah kalimat tersebut tak mengandung masalah. Aku cukup kagum pada fakta dia sadar tentang apa yang dia lakukan, dengan kata lain dia melakukannya dengan alam pikir yang jelas dan memiliki tujuan tertentu.

"Jika kau sadar dengan apa yang kau lakukan, mengapa kau masih melakukannya? Aku asumsikan tak ada faktor lain yang memaksamu, 'kan?" dia tak menjawab dan hanya tersenyum. apa mungkin ada?

"Well ... lebih baik ditakuti daripada dicintai apa bila seseorang tak bisa menjadi keduanya" ujarnya mengaku.
aku terkesan dengan pengetahuannya—atau aku yang terlalu sombong?—itu adalah kutipan Niccolo Machiavelli yang berasal dari bukunya The Prince. Aku memahami konteksnya bahwa pada dasarnya manusia itu, "Tidak tahu terima kasih, berubah-ubah, ingin melarikan diri dari bahaya, dan tamak akan keuntungan."

Ketika bahaya masih jauh mereka mengaku akan berkorban bagi pangeran, namun ketika bahaya menjadi nyata mereka akan berbalik melawan pangeran. Pemutusan hubungan cinta lebih mudah ketika situasi buruk terjadi, tetapi ketakutan akan hukuman selalu efektif terlepas dari situasinya. Meski begitu, di luar dari konteks Machiavelli, aku masih tak memahami mengapa Kimberly memilih kutipan itu.

"Tapi kau tak menakutkan, kau menyebalkan," balasku setengah bercanda.

"Akhirnya kau mengaku kalau kau kesal padaku," jawabnya cepat lalu tertawa lepas.

***


Kami terpisah begitu sampai di sekolah, dia langsung masuk ke kelas sedangkan aku lebih memilih duduk di kantin.

Belum ada apa-apa di kantin, Nyonya Smith yang merupakan koki utama di kantin menyapaku dengan hangat dan berucap maaf karena belum ada makanan yang bisa ditawarkan untuk saat ini.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin duduk sebentar, Nyonya Smith.”

Kuturunkan bangku yang awalnya berada diposisi terbalik di atas meja lalu mendudukinya. Aku keluarkan roti isi yang kuletakkan di dalam kotak makan. Aku memilih sarapan di sekolah, rumah terlalu sepi bagiku.

Ketika roti isi ini hendak kugigit, aku merasakan kehadiran lain di dalam kantin ini. Dengan cepat aku menoleh ke arah kanan belakangku.

Netraku menangkap sesosok perempuan yang kukenali ciri-cirinya. Perempuan itu adalah seorang gadis yang kemarin kulihat duduk di bawah pohon di lapangan sekolah. Dia duduk dalam diam dan kesendirian, menyantap roti isi yang ia bawa. Aku hanya menatapnya dari jauh dan tampaknya dia juga tak menyadari atau mungkin sengaja tak menghiraukanku.

"Kudengar kau ke sekolah bersama Kimberly, ya!?" dari sisi lain kantin, suara kaget dapat kudengar. Suara siapa lagi itu kalau bukan suara tuan Nolyn Davis. Dia bergerak tergesa-gesa mendekatiku dan mendekatkan wajahnya kepadaku sambil memasang ekspresi serius.

"Iya, tapi apa yang mungkin ada di kepalamu tidaklah terjadi. Maaf mengecewakan," kataku santai sambil sedikit terkekeh.

Tanpa melanjutkan percakapan awal yang telah dibukanya, ia menurunkan bangku dan mulai menceritakan gosip-gosip apa saja yang ia dengar kemarin. Seperti biasanya.

Kadang aku merasa sexist dalam mengira bahwa laki-laki bertubuh tegap dan hobi berkelahi tak akan bergosip layaknya segerombolan gadis metropolitan ketika mereka bertemu satu sama lain.

"Aku mendengar cerita dari Thomas yang mendapat kabar dari Darren yang diceritakan oleh Claire yang di surel oleh saudara jauhnya, Bruce. Mengatakan bahwa Harper dan Adam resmi pacaran!"

Aku memilih memalingkan wajahku menghadap ke arah lain dan menatap gadis dengan gaya rambut soft bangs yang masih asik menyantap roti isi dalam kesendiriannya itu. Sorot mataku tidak pernah lepas dari gadis itu dan tidak memedulikan ocehan Nolyn yang tiada henti berkicau. Aku bahkan tak mengenal sejoli yang menjadi topik gosipnya hari ini.

Dapat kudengar bahwa ocehan Nolyn mendadak berhenti dan ada kekehan jahil. Ketika kumenoleh ke arahnya, terpasang ekspresi jahil ciri khasnya di wajah dan aku merasa dia akan melakukan hal bodoh.

"Tunggu saja disini, aku akan membantumu!" katanya dengan senyum jahilnya masih terpampang di bibirnya.

Dia bangkit dari bangkunya dan berjalan ke arah gadis yang tak di kenal itu. Aku mencoba menarik bajunya, sayangnya dengan hentakan dari bahunya membuat genggamanku di bajunya langsung terlepas dan seketika aku menutup wajahku malu.

"Hai! No-" gadis itu beranjak pergi, meninggalkan tempatnya semula. "Na..." dia juga meninggalkan Nolyn yang terdiam membeku. Dengan karisma Nolyn beserta ketampanannya, jarang ada yang bisa menolak gombalan darinya.

Kulirik kembali gadis itu sebelum dia terlalu jauh pergi, kulitnya yang sudah pucat menjadi bertambah pucat. Aku tak mengetahui alasannya tapi sepertinya dia sedang bermasalah.

Aku berhenti berspekulasi ketika bel sekolah berbunyi. Aku hanya mengutuk diriku yang lupa menyelesaikan roti isi yang baru kulahap setengah, argh! Lupakanlah! Aku akan makan sambil berlari ke kelas.

Oh! Philosophy!, Oh! My Dear Love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang