Mr. Thomas

18 15 0
                                    

Kukayuh sepedaku santai di trotoar sembari sesekali menghindari pejalan kaki yang juga menggunakan layanan umum itu.

Membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai Mister Flower di Broad River Boulevard.

Bel pintu berbunyi ketika kubawa tubuhku masuk ke dalam toko itu, ada beberapa pelanggan yang tengah asyik bertransaksi di sore ini.

Pria tua yang kemarin memberiku fakta menarik tentang Chrysanthemum juga tampak mengenakan apron hijau, ternyata dia juga pegawai Mister Flower.

Dia melihat ke arahku dan tersenyum.

"Hai anak muda kau kembali lagi, apa yang engkau butuhkan di sore hari yang indah ini?" ucapnya dengan ramah kepadaku.

Lamunanku terpecah akibat sapaannya dan dengan cepat aku menjawab, "Aku membutuhkan sebuket bunga mawar merah."

Dia mengangguk kecil dan menghilang ke belakang untuk membuatkan buket pesananku.

Aku berdiri terdiam di dekat kasir dan melihat sebuah tulisan yang tertulis di atas kertas karton berwarna putih.

Dicari pegawai full time / part time

Aku sedikit tersenyum melihat hal itu dan bergumam pada diriku sendiri, "Ini mungkin kesempatan yang bagus. Ditambah, tinggal dan menjadi penganggur di rumah orang cukup memalukan."

Kulihat pria tua itu mendatangiku dengan sebuket bunga di tangannya. Aku menanyainya mengenai apakah lowongan kerja yang tertera di karton itu masih tersedia.

"Tentu saja, kami baru meletakkan pagi ini. Jika kau tertarik, kau bisa menghubungi nomor yang ada di bawahnya," ucapnya sopan masih dengan senyum di bibirnya.

Setelah menyimpan nomor yang tertera aku pun pergi meninggalkan toko itu.

***

Sixteen Gate Cemetery, aku kembali lagi ke tempat ini. Aku berjalan di jalan setapak yang di kanan kirinya penuh dengan nisan-nisan batu sebagai kenangan akhir dari manusia-manusia yang telah sampai pada tujuan akhir kehidupan mereka.

Ketika aku sudah dekat ke nisan ibuku, aku melihat seseorang dengan jubah berwarna cokelat krim dengan fedora menghiasi kepalanya.

Aku terdiam dan memperhatikannya lekat-lekat, ketika dia menyadari kehadiranku dia menoleh ke arahku.

Brien Gallacher—Ayahku.

Pandangan mata kami bertemu, tak sepatah kata pun dapat kukeluarkan dari mulutku meski aku merasa ada sejuta kalimat yang ingin kulemparkan kepadanya.

Kontak mata kami pun terputus ketika dia menoleh kembali ke nisan ibuku.

"Aku tak sanggup," ucapnya pelan, seolah pembicaraan hanya di antara dirinya dan ibuku.

"Aku tak sanggup untuk kau tinggalkan sendiri," sambungnya sembari menyeka air matanya yang secara diam-diam mulai turun.

"Bagaimana dengan Kerwin? Siapa yang akan merawat pujangga kecil kita ini? Siapa yang akan menjadi tempatnya berkeluh kesah? Aku hanya sebuah kegagalan baginya. Tolong jawab pertanyaanku ini Aurora, tolonglah ..."

Lagi-lagi aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata apa pun. Hatiku sedikit mencelos dengan rangkaian ucapan yang keluar dari bibirnya.

Tapi, bukan berarti aku bisa mengasihaninya.

Aku hanya bergerak mendekatinya karena aku ingin meletakkan buketku di nisan ibuku lalu pergi meninggalkannya yang masih dalam tangis diamnya.

***

Oh! Philosophy!, Oh! My Dear Love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang