Dengan sprei yang kuikat satu dengan yang lain, aku memanjat turun dari jendela lantai dua rumahku. Rumahku memang tak setinggi rumah orang-orang kaya di suburb, namun jatuh dari ketinggian ini tetap akan memberi masalah pada kakiku.
Segera setelah menjejakkan kakiku ketanah, kubawa diriku lari menjauh sejauh-jauhnya dan secepat-cepatnya dari rumahku sebelum ayahku menyadari kalau aku sudah tak ada di kamarku.
Di sela-sela lariku, kugapai ponselku yang ada di kantongku.
Memanggil
NolynTertulis di layar ponselku, bunyi khas panggilan telepon dan ponselku yang bergetar menunggu Nolyn untuk menjawab panggilanku menemani jogging malamku.
Nafasku saling mengejar ketika kakiku berhenti berlari setelah aku mencapai halte bus yang biasa kudatangi untuk pergi ke sekolah.
Jam sudah menunjukkan angka delapan tiga puluh menit, aku tak terlalu memahami sampai jam berapa bus akan mendatangi halte-halte ini, namun aku ragu akan ada bus yang berhenti di rute ini.
Setelah sekian lama, Nolyn akhirnya menerima panggilanku.
"Hei, What's up?"
"Apa kau di rumah?"
"Ya, kenapa?"
"Jemput aku."
***
Hanya diam yang menemani perjalanan kami. Sejauh ini Nolyn belum berucap sepatah kata pun kepadaku, netranya hanya berfokus pada lalu lintas.
Disisi lain aku bersandar pada kaca mobil memperhatikan hingar-bingar dunia malam yang cukup ramai untuk kota kecil seperti Beaufort.
Dari North Street kami berbelok ke kiri memasuki Ribaut Road. Setelah beberapa lama Nolyn kembali memutar setirnya dan kami pun masuk ke Barnwell Street—tempat dimana Nolyn tinggal bersama orang tuanya.
Rumahnya adalah rumah yang cukup standar, tak memiliki lantai tambahan namun melebar ke samping. Rumahnya memiliki pagar kayu dengan cat yang sama seperti dinding rumah itu sendiri yaitu putih.
Ketika pintu rumahnya kubuka, aku di sambut oleh Nyonya Davis—Ibu Nolyn—dengan tatapan khawatir. Ia menyentuh pipiku dan memelukku sambil bertanya apakah aku baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja," sedikit kesulitan bernafas karena dipeluk begitu erat oleh ibu Nolyn yang memiliki ukuran tubuh cukup besar.
Setelah Nyonya Davis melepaskan pelukannya, aku juga di sambut oleh Tuan Davis—Ayah Nolyn—dengan berjabat tangan. Dia bertanya kepadaku apakah ia perlu menelpon ayahku.
Karena itu akan menjadi ide yang counter-intuitive dari apa tujuanku melarikan diri, aku pun menolak tawarannya dan meminta izin untuk tinggal beberapa hari bersama mereka.
Pandangan Tuan dan Nyonya Davis pun bertemu seolah saling bertanya kepada satu-sama lain, apakah ini ide yang bagus?
"Biarkanlah dia tinggal bersama kita," ucap suara perempuan dari sisi lain ruangan, itu adalah Iola Davis—Kakak Nolyn.
Gadis dengan pakaian dan make up serba hitam itu tengah bersandar di dinding sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya.
Tuan Davis pun akhirnya menyetujui permintaanku setelah keluarga Davis saling berdiskusi menggunakan bahasa Wales dan membiarkanku terdiam tak tahu apa yang harus kukatakan.
Iola segera mendekatiku setelah ayahnya membiarkanku tinggal. ia menawarkan fistbump dan aku menerimanya dengan senang hati.
Gadis goth itu pun menyuruh Nolyn untuk pergi menjauh dengan gestur tangannya, Nolyn membuang nafas berat dan mengikuti perintah kakaknya itu. Iola membawaku ke ruang bawah tanah karena—berdasarkan apa katanya—adalah satu-satunya tempat yang masih memiliki ruangan kosong.
Ketika sampai di kamar itu, hanya satu kata yang bisa kuucapkan untuk menggambarkan ruanganku.
Tak Buruk
Ruangan itu memiliki satu single bed, meja belajar dan rak buku mini di atasnya, lemari pakaian dengan cermin di pintunya, serta sebuah poster My Chemical Romance di dinding yang—dengan ancaman dari Iola—terlarang untuk dicabut atau bahkan disentuh sedikit pun.
Setelah ia pergi meninggalkanku dan kamar baruku, segera kuletakkan barang-barangku ke tempatnya. Buku-bukuku di rak dan pakaian-pakaianku di lemari baju.
Setelah selesai aku pun membaringkan tubuhku di atas kasur, kasurnya sedikit keras tapi masih bisa di gunakan. Satu-satunya yang bisa kulihat sejurus dari tempat tidurku hanya poster MCR yang ada di dinding.
Poster itu menunjukkan para personil band dalam pakaian Black Parade mereka.
"Kukira dia Goth ternyata Emo." Ucapku terkekeh pada diriku sendiri lalu tak berapa lama menyelam ke alam mimpi.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Seperti biasa, populasi kelas langsung bubar seperti semut-semut yang sarangnya kebanjiran.
Ketika aku keluar, aku langsung di sapa oleh Nyonya Brown yang memerintahkanku untuk menemuinya di ruangannya.
Kuikuti wali kelasku itu, ia berjalan masuk ke ruang guru dan memasuki ruangan yang lebih sempit di dalamnya.
"Tuan Gallacher tadi pagi menelepon kepala sekolah," ucapnya seketika setelah dia duduk di bangkunya.
"Apa yang ia inginkan?" ucapku dingin, Nyonya Brown meletakkan kedua tangannya di meja yang menjadi pembatas di antara kami dan menjadikan tangannya itu sebagai penopang dagunya.
"Tidak ada, cukup mengejutkan, dia hanya mengabarkan bahwa kau kabur dari rumah." Ucap Nyonya Brown santai, manik matanya yang berwarna cokelat memandangku tajam membuat bulu romaku sedikit berdiri.
"Lalu, untuk apa anda memanggil saya kemari?" Tanyaku mencoba memasang ekspresi yang sama tajamnya.
"Tentu saja untuk menanyai kabarmu," ucapnya santai, melonggarkan bahasa tubuhnya agar tak terlalu mengintimidasiku.
"Saya cukup sehat." Jawabku singkat.
Nyonya Brown hanya membuang nafas berat. Sepertinya, karena kurangnya latar belakang pendidikan psikologis yang di laluinya, pertemuan ini menjadi tak berarti.
"Tuan Thomas, si guru di bidang konseling hari ini izin tak hadir. Jadi, yang bisa saya ucapkan kepadamu adalah jangan libatkan dirimu dalam masalah dan segeralah jumpai Tuan Thomas besok. Mengerti?"
Aku hanya mengangguk singkat dan bangkit dari tempat duduk.
Nolyn telah menungguku di luar, sejak kemarin tak banyak pembicaraan yang terjadi di antara kami. Hanya keheningan.
Aku memintanya untuk pulang terlebih dahulu, dia menolak dan mengatakan bahwa aku akan kesulitan pulang. Dia mendukung argumennya itu dengan fakta bahwa aku tak memiliki uang sepeser pun di sakuku.
Setelah beberapa kali saling lempar argumen, akhirnya Nolyn mengangkat tangannya pertanda dia menyerah.
"Baiklah, aku akan pulang duluan," ucapnya lalu berjalan melewatiku.
Aku sendiri langsung bergerak ke lokerku untuk mengambil beberapa puluh dolar yang telah kusimpan-simpan dalam tiga tahun belakangan ini.
"Seratus empat puluh dollar," gumamku ketika mengambil semua uang yang tersimpan di bawah buku Republic -ku.
Aku berjalan ke luar sekolah menuju Jenning Road dan mendatangi sebuah toko sepeda bernama Bike Hero Inc. yang sering kulihat ketika melewati jalan ini.
Kuincar sepeda bermerek Nishiki bekas yang memiliki tag price 120 dollar. Segera kubayar sepeda itu dan pergi.
Dengan sisa uangku, aku bertolak ke Mister Flower.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh! Philosophy!, Oh! My Dear Love!
Teen Fiction"Death smiles at all of us, but all a man can do is smile back" - Marcus Aurelius - Berkisah tentang Kerwin Gallacher, seorang remaja penggiat filsafat, yang mencoba menjalani hidup setelah kematian ibunya. Pertemuannya dengan Alyn, seorang gadis pe...