#𝟎𝟎.𝟎𝟕

990 189 45
                                    

#𝟎𝟎.𝟎𝟕 𝐟𝐨𝐫 𝐚 𝐰𝐡𝐢𝐥𝐞

Mungkin jika Albedo pikir dengan teliti bahwa pusat dari segala lamunannya hanya tertuju pada gadis itu, bak tinta permanen yang sulit dihilangkan presensinya tak pernah sekalipun wajah tersebut absen.

Bahkan pemuda itu kini mengutuk isi kepalanya, kalimat Sora terus bergema. Namun menurutnya, terasa tidak elit jika ia harus menumbangkan seluruh egonya.

"Albedo senpai?"

Sontak sadar dari lamunannya, ia menatap pada netra perempuan dengan surai hijau mint tersebut, "Daijobu ka Albedo senpai?"

Albedo menyugar poni miliknya, "Gomen aku melamun."

"Apa kau sedang memikirkan sesuatu Albedo senpai?" Membenarkan letak kacamata miliknya, Sucrose meraih gelas untuk ia sodorkan pada pemuda tersebut.

Ia bergeming, hanya menatap air bening tertadah pada gelas. Timaeus melirik sekilas, ia baru pertama kali melihat sisi Albedo yang seperti ini. Biasanya pemuda pirang itu pintar sekali dalam hal menyembunyikan perasaanya, seolah Timaeus pikir bahwa Albedo tak pernah merasa bahwa hidup dipenuhi oleh beban. Hanya saja untuk hari ini, ekpresi yang cukup signifikan ditangkap, Albedo yang melamun dengan raut wajah yang menggambarkan kebingungan. "Hanya masalah kecil, tidak perlu khawatir."

Meskipun ia berkata demikian, Timaeus dan Sucrose sangat yakin bahwa Albedo seperti bukan dirinya sendiri. 

"Bukankah seharusnya kau berada di ruang rapat sekarang?" Timaeus bertanya demikian sebab sebelumnya Albedo menginformasikan bahwa ia tidak bisa berlama-lama di laboratorium,  "Kalau begitu bisakah kalian mengurus sisanya?" 

Sucrose mengangguk, "Serahkan pada kami." 

"Terima kasih Timaeus, Sucrose." 

Ada keheningan di antara mereka, netra coklat pemuda tersebut melirik sisi wajah perempuan di depannya yang masih menatap pintu geser bekas kepergian Albedo. Membuang napas seketika lantas berkata, "Aku tahu kau menyukai Albedo senpai." Melihat reaksi Sucrose yang sekarang rasanya Timaeus sudah dapat menemukan jawabannya, "Kenapa kau tidak mencoba untuk menyatakan perasaanmu?"

Kepalanya tertunduk, dari sini Timaeus bisa melihat pancaran kesedihan dari sorot mata yang menatap ubin, "Mungkin aku akan mencobanya...walaupun aku tahu pasti cintaku akan bertepuk sebelah tangan." 

Albedo melirik kelas yang dilewatinya, yang membuat langkah sontak berhenti adalah figur yang duduk menyendiri. Diam-diam dengan perlahan mendekati, mengamati dari ambang pintu dengan keheningan. Apa yang dilakukannya? 

Bel pulang sekolah seharusnya sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu, seharusnya gadis itu sudah tidak berada di kelas, namun yang ditemukan Albedo adalah sang wanodya yang duduk tepat di samping jendela dengan wajah yang memandang keluar. Tanpa sadar terbawa pesona olehnya, melihat bagaimana rambut yang tersibak oleh angin serta earphone yang tersemat pada telinga membuat hati kecilnya untuk menghampiri. 

Namun ia pikir tindakan itu terlalu bodoh untuk dirinya dan berakhir untuk meninggalkan figur itu tanpa sepatah katapun.

Rapat yang diselesaikan cukup menguras banyak waktu, bahasan perihal festival Tanabata yang akan diselenggarakan sekitar satu bulan lagi.

Tugas sebagai ketua osis serta ketua klub alkemis bukanlah hal mudah baginya, namun dilihat dari sisi manapun Albedo seolah memang pantas untuk dijabatkan wewenang seperti itu. Hal yang lumrah baginya jika ia menyukai tugas tersebut, tetapi ada satu waktu yang di mana pikirannya seolah ingin lepas dari beban itu untuk sementara waktu.

Terduduk pada bangku panjang halaman belakang sekolah, wajahnya mengadah menatap lembayung. Presensi yang mengisi tempat duduk di sampingnya membuat netra biru cerah melirik, "Belum pulang?" Tanyanya.

"Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu, kenapa kau belum pulang?"

Ia menarik senyum, "Menunggumu?"

Albedo bergeming, keheningan bergantung di antara mereka. Kembali menatap lembayung sore, angin lembut terpa kedua wajah itu.

Ia tak pernah tahu apa yang dipikirkan gadis itu padanya, tak pernah mengerti kenapa sebegini rumit perasaannya kala berada dekat dengannya. Namun untuk kali ini entah kenapa, pemuda tersebut hanya mengikuti naluri kecil dari hatinya.

Gadis itu menoleh kecil sebab merasakan berat pada pundaknya, surai piranglah yang pertama kali dilihat. Hingga suara serak membuat jantungnya berpacu, "Tetap seperti ini untuk sementara."

Terkadang gadis itu tak pernah mengerti apa yang dipikirkan pemuda di sampingnya, jejak kecil afeksi yang dilayangkan olehnya selalu membuat tanda tanya besar.

Lalu ada seseorang yang diam-diam memperhatikan dua orang itu dari belakang tembok, sirat sendu dari netra yang dibingkai kacamata sangat jelas. Haruskah perasaannya ia ungkapkan, atau ia pendam untuk waktu yang tidak ditentukan.

Meskipun begitu, perempuan dengan surai hijau mint tersebut tidak tahu apa lagi yang harus ia perbuat dengan perasaannya sekarang.

Karena melihat Albedo yang menyandarkan kepalanya pada pundak gadis itu, seharusnya sudah menjawab segala kebingungannya bukan?[]

𝐘𝐄𝐒 𝐨𝐫 𝐘𝐄𝐒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang