Harus Bagaimana?

800 50 24
                                    

Isakan-isakan kecil mulai terdengar bersamaan dengan air mata yang merembas membasahi blouse Syana. Syana mengusap lembut punggung sang sahabat. Membisikkan kata-kata penyemangat berharap Andrea lebih tenang. Tapi nyatanya Andrea masih tetap terisak dalam tangisnya.

"An, plis jangan nangis dulu. Aku tau apa yang kamu rasakan. Tapi jangan menangis di sini, kamu tidak ingin jadi bahan tontonan orang kan?" bisik Syana yang membuat Andrea segera mengusap air matanya.

Andrea mengendurkan pelukannya lalu mengelap sisa-sisa air matanya menggunakan tisu. "Aku harus gimana, Na?" ucap Andrea dengan wajah sendunya.

"Nanti kita bicarakan, sekarang tenangkan dirimu dulu. Ayo kita kembali ke ruang dokter." Syana menggandeng lengan Andre membawanya masuk kembali ke ruang dokter.

"Permisi, Dok ini hasilnya," ucap Syana menyodorkan sebuah testpack.

Dokter tersebut lalu meminta Andrea untuk berbaring di brankar. Seorang perawat menyingkap baju Andrea lalu mengoles gel di atas permukaan perut Andrea. Sementara itu dokter mulai menempelkan sebuah alat di atas perut sambil menggeser ke kanan dan ke kiri.

"Nona, coba lihat ke layar monitor. Tolong perhatikan baik-baik ini adalah kantung tempat calon bayi nona Andrea nanti, usia masih dua minggu jadi masih sangat rawan untuk nona Andrea harus hati-hati," jelas si dokter yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Andrea.

Usai keluar dari ruang periksa, Syana menuntun Andrea untuk duduk di bangku tunggu. Sementara Syana menebus obat dan vitamin Andrea di loket obat.

"Ayo, pulang An," ajak Syana yang berjalan mendekat dengan menjinjing kantong berisi obat, vitamin serta susu ibu hamil.

Syana mengendarai mobilnya perlahan menjauhi klinik. Ia berpikir untuk membawa Syana pulang namun sang empu menolaknya.

"Bawa aku ke tempat yang lebih tenang, Na. Aku butuh waktu untuk berpikir," ucap Andrea yang membuat Syana kembali melajukan mobilnya.

Syana melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke daerah puncak. Tempat yang sering mereka kunjungi ketika mereka sedang ingin menyendiri dan berpikir.

"Mang, tolong siapkan kamar yang biasanya," ucap Syana melalui sambungan telepon kepada salah seorang penjaga villa milik ayahnya.

"Baik non."

Begitu mobil berhenti di pelataran villa, Andrea langsung berlari masuk ke dalam dengan sisa sisa tenaga yang ia miliki menuju ke kamar yang biasa mereka tempati.

"Andrea!" seru Syana khawatir.

Syana mematikan mesin mobil lalu segera turun dari mobil dan berlari menyusul Andrea.

"Andrea… tunggu! Andrea stop!" seru Syana lagi.

"Jangan menyakiti nyawa yang tidak berdosa itu An," ucap Syana memperingati.

Seketika Andrea berhenti dan meluruh ke lantai menangis dengan nafas yang terengah engah lantas pingsan.

"Mang… tolong mang!" seru Syana kepada penjaga Villa.

Dengan cekatan penjaga villa segera berlari dan membantu Syana membopong Andrea masuk ke dalam kamar.

"Terima kasih, Mang."

"Sama-sama Non," ucap Mang Dino berlalu pergi.

Syana membaluri perut, dada dan membaui Andrea dengan minyak kayu putih. Sesekali Syana mengguncang lengan Andrea pelan berharap sang empunya membuka mata.

"An… Bangun! Jangan buat aku takut, An," ucap Syana khawatir.

Andrea membuka matanya secara perlahan, kala merasakan angin sepoi berhembus. Ia melirik ke arah samping nampak sang sahabat yang tidur di lantai dengan posisi duduk. Kepala Syana bersandarkan di pinggiran ranjang dengan sebelah tangan yang ia jadikan bantal dan sebelah tangannya lagi menggenggam tangan Andrea. Andrea melepaskan genggaman tangan Syana secara perlahan. Ia bergerak pelan menuruni ranjang lalu menutup jendela kamarnya yang terbuka. Setelahnya ia mengambil selimut untuk menyelimuti Syana.

"Maafin aku, Na. Gara-gara aku kamu jadi kayak gini," ucap Andrea lirih.

Andrea melangkahkan kaki menuju kamar mandi mencuci wajahnya lalu bergegas membelikan makanan untuk Syana. Hanya beberapa menit saja, Andrea sudah kembali dengan dua bungkus nasi goreng favorit mereka.

"Na, bangun. Makan dulu yuk?" ucap Andrea sembari menggoncang-goncang tubuh Syana pelan.

Syana pun segera bangun, ia terkejut melihat Andrea sudah berjongkok di depannya.

"An, kamu sudah bangun?" ucap Syana terkejut.

"Kamu kok gak bangunin aku sih? Kamu gak apa-apa kan? Apa kamu merasa mual?" tanya Syana khawatir.

"Aku gak kenapa-napa kok, Na. Jangan lebay deh," ucap Andrea sembari terkekeh.

"Makan dulu yuk, aku laper. Nih aku sudah belikan kamu nasi goreng biasanya." Andrea menunjukkan Kantong plastik yang ia bawa.

"Eh kamu sendiri yang beli? Aduh An, kenapa kamu gak bangunin aku sih? Kamu kan lagi sakit," cerocos Syana.

"Sudah deh, Na gak usah lebay. Aku ini hamil bukan sakit."

"Ya sudah yuk makan!"

Keduanya makan dengan santai sembari mengobrol asik tentang hal-hal yang mereka sukai.

"Na, aku harus gimana? Aku takut," cicit Andrea.

Syana menoleh, ia menatap Andrea intens. Seketika hatinya juga merasa sedih melihat mata nanar sang sahabat.

"Lebih baik kamu bicarakan ini dengan Anthony dulu, An. Bagaimanapun Anthony harus tau dan harus mempertanggung jawabkan semua ini."

"Tapi, Na… bagaimana dengan Mama dan Papaku? Aku yakin Papa akan marah besar jika tahu soal ini. Papa kan sangat mementingkan nama baiknya sebagai wali kota."

"Hmmm, aku rasa Papamu gak akan tinggal diam jika tahu kamu dihamili sama Anthony. Aku yakin Papamu akan segera menikahkanmu dengan Anthony demi nama baiknya. Iya kan?"

Andrea mengangguk setuju, apa yang dikatakan oleh Syana memang ada benarnya.

"Mendingan kamu hubungi Anthony sekarang An, ajak dia bicara dari hati ke hati. Mumpung kamu masih di sini," usul Syana.

Andrea mengangguk setuju. Ia lantas meraih ponselnya dan mendial nomor sang kekasih.

Andrea bangkit dari duduknya, berkali kali ia mencoba menghubungi Anthony namun tak jua kunjung diangkat.

"Gimana, An? Gak aktif?" tanya Syana.

"Aktif sih, Na. Tapi gak diangkat. Mungkin sibuk bantuin bokapnya kali ya. Soalnya dia bilang selama libur ia bantuin bokapnya di kantor sih," jelas Andrea.

"Oh ya sudah kalau gitu, kirim pesan saja. Ajak dia ketemuan di sini," usul Syana.

"Iya, Na. Aku chat dulu deh."

My Prince :

Sayang...

Temui aku di Villa punya papanya Syana ya..

Ada yang mau aku bicarain penting.

Tulis Andrea pada pesan yang akan ia kirim ke Anthony.

"Sudah?" tanya Syana memastikan.

"Sudah kok."

Andrea meletakkan ponselnya di atas nakas. Selang beberapa saat kemudian ponselnya berdering tanda sebuah panggilan telepon masuk.

"My Prince." Andrea langsung menggeser tombol gulir warna hijau kala melihat nama Anthony menelpon.

"Hallo, Sayang?" sapa Anthony dari seberang sana.

"Hallo, yang. Gimana?" tanya Andrea to the point.

"Gimana apanya?" tanya Anthony balik.

"Ckk! Bisa gak kita ketemuan? Aku mau bicarain sesuatu penting nih," ucap Andrea memperjelas.

"Apaan sih? Emang gak bisa ya kita bicarain lewat telepon saja?"

"Gak bisa, masalahnya ini tuh penting banget."

"Ya tentang apa? Bilang dulu dong." Anthony mulai penasaran.

"Baiklah ... Aku ...."

Young Mommy (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang