🕊 Menasbihkan Namamu (End)

296 46 45
                                    

Jihan benci pada kegamangan yang ia rasa. Terlebih jika itu mempengaruhi pada nilai sekolahnya. 

Hanya saja... Jihan adalah tipe yang mengambil serius perasaan dan tanggapan orang lain. Jihan terbiasa sendiri sejujurnya. Tapi dalam kondisi dijauhi dan menjadi bahan ghibah juga rasanya tidak nyaman. Jihan pernah ada diposisi itu saat SMP. Ia tak mau lagi. Apalagi ini dengan teman kelas yang akan bersama hingga lulus nanti.

Jihan kira, di sekolah yang ada di pusat kota ini, ia tak akan menemui drama seperti saat ia di SMP. Tapi ternyata sama saja.

"Kenapa menjauh? Apa karena Kak Juno?" Jihan bertanya pada teman baru paling dekat dengannya selain Vira.

"Bukan. Toh sejak awal gue yang gak tau diri suka sama dia." Jawab Gita ketus langsung membuat perasaan Jihan semakin buruk.

Gita memang ketus. Tapi bukan ketus tajam menusuk hati seperti ini.

"Lo ga salah." Ujar Jihan lesu. Matanya memandang kosong pada hamparan kering lapangan upacara yang terik. "Jangan ngejauh. Lagian gue juga bukan siapa-siapanya Juno kok." Jihan kembali menatap Gita yang ada di seberangnya penuh permohonan.

"Iya bukan siapa-siapanya tapi dianter pulang." Gita mengucapkan itu dengan sangat ringan. Tapi kenapa efek nya berat sekali pada dada Jihan?

"Lo tau motor gu mogok, Ta." Bela Jihan pada diri sendiri.

"Ck, udahlah, Han. Males gue ngomogin ini." Gita menatap jengah pada Jihan lalu membuka ponselnya mengabaikan Jihan yang masih enggan berhenti sebelum masalah usai.

"Gita... Maaf... Gue ga bermaksud nyakitin hati lo. Gue beneran ga tau lo suka sama Kak J-"

"Ngapain sakit hati coba?" Kedua pasang mata sepasang teman yang ada di ujung tanduk itu saling bertemu. "Toh dari awal gue tau gue gabakal punya kesempatan." Berbeda dengan tatapan sendunya, Gita dengan sorot sinisnya. "Lo lebih cantik, lo lebih pinter, lo lebih deket sama guru, lo lebih kaya, lo.... lebih deket sama dia."

Dan dengan kalimat panjang Gita, persahabatan Gita dan jihan resmi renggang. Menyisakan hati Jihan yang tercabik dalam kegangamangan.

🕊

Hari-hari selanjutnya, Jihan lanjutkan dengan menghindari Arjuno, sang pujaan hati.

Menjaga jarak sejauh mungkin. Membujuk hati yang terkadang protes menggemakan rindu. Mengajak mata untuk tak mencari keberadaannya.

Usaha itu jelas tidak akan sepenuhnya berhasil mengingat mereka ada di satu tempat yang sama.

Beberapa kali mereka bertemu. Walau intensitas nya tidak sebanyak sebelumnya saat Jihan memang mencari keberadaan Arjuno.

Namun pertemuan itu tak berlangsung lama. Jika biasanya mereka akan saling bertukar senyum, kini Jihan segera memalingkan wajah lalu pergi menjauh.

Sulit rasanya kalau boleh jujur. Melihat keberadaan Arjuno memberi kenyamanan tersendiri. Namun Jihan tahu semuanya harus segera ia akhiri.

Di minggu kedua menghindar dari semua orang. Jihan akhirnya mencoba bergabung dengan temannya lagi yang saat ini duduk di teras kelas dan sebagian di pinggiran taman mini.

"Weh, Han? Udah selesai meditasinya?" Tanya Leo. Yang disahuti oleh tawa keras teman yang lain.

"Gue baca buku. Bukan meditasi." Ujar Jihan sambil berusaha nyempil di antara teman yang duduk di pinggiran taman.

"Eh, Jihan, lo tau ga? Katanya ada wabah yang banyak menjangkit anak-anak pinter di sekolah menjelang ulangan." Aldi membuka topik pembicaraan.

"Hah? Wabah apa?" Tanya Jihan dengan raut serius.

Love's FlavourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang