Masir Muhatam pt.2

19 5 2
                                    

Di sini, sebuah ruangan di lantai dua yang sunyi, seorang gadis menyandarkan punggungnya pada dinginnya tembok bercat putih di pojok ruangan. Pandangannya kosong, namun tersirat sejuta kepedihan yang menohok di hatinya. Sementara kepalanya terus memutar kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu layaknya sebuah reka adegan.

'Yang jelas, gadis itu harus seiman denganku.'

Kalimat itu terus berputar di telinganya bak kaset kusut, hingga rasanya kepalanya ingin meledak–justru Zehra sendiri yang membenturkan kepalanya–, berharap jika benar-benar pecah, memori itu akan lenyap.

"Apa yang harus aku lakukan?" bisiknya lirih, sarat akan kekeringan seperti air matanya saat ini.

Sulit dijelaskan oleh kata-kata. Mengingat betapa dekatnya hubungan Birrol dengan dirinya membuat ekspetasinya membumbung setinggi angkasa tentang harapannya untuk bisa hidup bersama pemuda itu. Namun semuanya patah dengan pernyataan itu, membuatnya jatuh terperosok ke jurang terdalam.

'Jadi selama ini Birrol menganggap ku apa?' Batinnya terus bertanya-tanya.

Ia merasa dekat sebagai urat nadi, namun sejauh dua daratan yang dipisahkan samudra, tak memiliki titian.

*
*
*

Kitab yang biasa ia hafal secara diam-diam saat ini tak sedikitpun membuat pikirannya teralihkan. Ia ingin sekali mengutarakan isi hatinya, tetapi kepada siapa?

"Zehra!!!" teriak Birrol dari bawah sana membuyarkan lamunannya.

Ini dia, biang masalahnya. Seminggu ini Zehra terus memikirkannya, namun lelaki itu seakan menghilang ditelan bumi. Dan tanpa diundang, ia datang sendiri menemui Zehra.

"Kemana saja kau seminggu ini, hah?!" tanya Zehra setelah sampai di bawah dengan menuruni tangga beranda rumahnya.

Birrol mendadak gugup, ia menggaruk tengkuknya padahal tidak gatal sama sekali. "Aku–tak menyangka kau akan mencari ku," ucapnya lalu terkekeh kecil.

Apa yang lucu sekarang? Di saat Zehra uring-uringan dengan perasaannya, pria ini masih sempat menertawakan sesuatu. Maksud Zehra begini, Birrol terlihat mencurigakan.

"Kau ada masalah?" tembaknya, raut terkejut sempat tercetak di wajah lelaki itu, namun berhasil ditutupi meskipun Zehra terlalu peka untuk tidak menyadarinya.

"Apa maksudmu? Justru kau yang bermasalah. Dari tadi aku teriaki dari bawah, tapi kau malah asik melamun." Birrol mengelak.

Zehra menghela napas, kesal karena Birrol bisa sebegitu baik mengenalnya.

"Jadi, mau ceritakan masalahmu?" tanya Birrol sambil mendudukkan dirinya di kursi taman samping rumah Zehra.

Gadis itu turut melakukan hal yang sama, sambil terus menghela napas. Ia harus memantapkan hatinya untuk mengambil keputusan ini.

"Aku ingin belajar agamamu." Seketika Birrol terdiam, tak mampu bereaksi apapun.

*
*
*

Flash back.

"Apa? Perjodohan???" Birrol terbelalak menatap sang ayah tak percaya.

Sang ayah hanya mengangguk, lalu menyeruput secangkir qahwa di tangannya.

"Baba, mengapa tiba-tiba sekali?" protes pemuda itu.

Nuruddin menghela napas dalam, kemudian menatap teduh putra semata wayangnya itu.

"Dengarkan aku, wahai anakku." Dengan patuh, Birrol memperhatikan sang ayah.

"Sebagai putraku, kau sudah cukup dewasa untuk menjadi seorang Imam Besar di masjid, menjadi penerusku. Untuk itu, kau harus segera menikah agar syaratmu menjadi imam masjid cepat terpenuhi. Bagaimana?"

Antologi KACAU✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang