Chapter Ini Bukan Cerita Fiksi

1 0 0
                                    


Karena saya dianggap penulis (katanya), maka saya juga akan membahas cacian ini dengan karya.

Karena saya dianggap penulis (katanya), maka saya juga akan membahas cacian ini dengan karya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari komentar ini saya masih bertanya-tanya sampai sekarang, apa korelasi antara penulis cerita fiksi dengan berita hoax??

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari komentar ini saya masih bertanya-tanya sampai sekarang, apa korelasi antara penulis cerita fiksi dengan berita hoax??

Saya tekankan cerita fiksi ya, bukan cerita yang harus mencari info dan sumber paling valid. Membuat cerita fiksi hanya perlu berimajinasi dan research tipis-tipis sesuai kebutuhan. Tidak perlu cari berita yang benar, saya bukan jurnalis.

Disclaimer, komentar ini saya dapatkan di salah satu postingan tentang pemilu.

Ya, mungkin orang tersebut merasa tersinggung atas komentar saya yang menyinggung utang salah satu paslon.

I mean, I reply another one's comment, why this one gets offended??

Lagipula, saya hanyalah seseorang yang hobi menulis cerita fiksi, bukannya penulis yang berharap dilirik produser. Tidak nyambung.

Lagipula apa hubungannya penulis dengan produser? Kalau dilirik oleh penerbit, iya, saya mau. Tapi produser? Saya pikir itu salah sambung, kecuali kalau saya memang berambisi ingin mengadaptasi karya saya menjadi sebuah film. Tapi masalahnya saya tidak berpikir sejauh itu.

Karena perdebatan politik itu sampai melenceng ke arah personal sampai akun ini di-stalking. Karena tidak bisa stalk akun asli, akun seru-seruan ini pun jadi.

Dari pemilu 2024 ini saya jadi paham, alasan mengapa fanatisme dan politik identitas itu berbahaya. Selain menimbulkan perpecahan antar masyarakat, kedua hal itu juga merongrong kesadaran dalam berpikir logis.

Saya melihat, bukan hanya satu atau dua orang yang berkoar-koar bahwa mereka dulunya pendukung setia di tahun 2014-2019. Pertanyaannya, siapa yang menyuruh setia terhadap politikus??

Tapi sekarang mereka kecewa karena berbagai macam alasan. Pertanyaannya, memangnya orang-orang yang memilih dengan kesadaran hati juga tidak mempunyai alasan? Everybody has a reason.

Masalahnya adalah, siapa yang menyuruh untuk mendukung sebegitu fanatiknya? Apa yang diharapkan? Berharap selamanya akan menjadi oposisi? Kenapa harus? Jika oposisi mempunyai elektabilitas tinggi dan kompeten maju menjadi presiden, mengapa harus terus-terusan menjadi oposisi?

Lucunya lagi, mereka kecewa dan merasa dikhianati. Siapa yang berkhianat dengan siapa?? Ini kontestasi politik, dimana kawan bisa menjadi lawan, dan lawan bisa menjadi kawan. Toh sang oposisi tidak menganggap lawan politiknya sebagai musuh, tapi sebagai rival. Mengapa orang-orang merasa terkhianati? Baperan!

Selalu mengklaim cerdas, ber-IQ tinggi, tapi memandang politik ini dengan perasaan, bukan dengan logika?? Sayang sekali otak cerdasnya.

Saya yakin dengan orang-orang seperti ini, siapapun yang mereka dukung, kelakuannya akan tetap sama saja, memang dasarnya saja orang-orang problematik. Sudah lah tidak terima kekalahan, menuduh curang terhadap pemenang, hanya akan membenarkan apa yang mereka anggap benar, dan menganggap apa yang orang lain sampaikan sebagai hoax. Dan satu lagi sifat yang paling menjijikan, akan menjadi yang paling tersakiti dan merasa dirugikan, serta menyalahkan orang lain atas kegagalannya.

Tidak terima? Akui saja lah, jangan jadi manusia hiprokrit.

Jadi, fakta lapangan terbaru yang saya dapatkan dari pemilu ini adalah, "pendukung yang fanatik dan mabok agama itu problematik"

'Kenapa jadi bawa-bawa agama??'

Sejujurnya itu bukan tentang agamanya, tetapi tentang pemeluk agamanya. Saya sampai sekarang tidak mengerti dengan pola pikir oknum orang-orang yang taat beragama. Apakah identitas agama sepenting itu? Kalau memang seberharga itu, kenapa tidak marah saat dijual untuk kontestasi politik. Semuanya kan sudah jelas tau bahwa agama tidak bisa dicampur dengan politik, karena itu adalah dua hal yang sangat tidak nyambung. Agama itu ilmu Tuhan, sedangkan politik itu ilmu dari dasar pemikiran manusia.

'Jika tidak memilih si ini, harus dipertanyakan keislamannya'
'Yang tidak coblos si itu, dilarang disolatkan di masjid ini'

Apa hubungannya??

Sekarang pertanyaannya adalah, mereka ini sebagai umat beragama, sebenarnya apa yang mereka sembah, Tuhannya atau agamanya??

Saya juga dari kecil belajar agama di lingkungan yang mendukung, pernah menimba ilmu agama juga di pesantren, saya tidak pernah diajarkan untuk menjadi pemeluk agama yang fanatik. Karena yang saya pahami adalah, agama ini sangat menjunjung tinggi perdamaian dan toleransi.

Tapi faktanya sekarang bagaimana..?

Memangnya boleh mengkafirkan sesama pemeluk agama? Tuhan saja tidak pernah menghakimi manusia, kenapa manusianya sendiri suka sekali mencap sesamanya?

Antologi KACAU✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang