07. the past, regret and clandestine

1K 107 33
                                    

Ruas jemari Jungkook menggenggam erat, pada satu map materi yang dipegangnya, sejurus perasaan yang gamang menghantuinya. Keheningan melanda ketika ucapan Minhwa mengatakan tentang kerinduan padanya. Ia tidak harus membalasnya. Lagipula, hidup mereka sudah berbeda.

“Jangan seperti ini.” Jungkook menghela napas dengan keras. Materi yang ia pegang seakan-akan menjadi debu jika ia remat begitu kencang. “Kau seharusnya membenciku, Minhwa.”

Kenapa? Memang apa yang harus membuatku benci padamu setelah semua yang kita lakukan bersama?” Pun Minhwa menghela napas.

Aku tidak salah kan, mengenalimu saat di Halte?” Di seberang sana Minhwa tengah tertawa kecil. “Aku seperti bermimpi melihatmu. Aku tahu sekali itu adalah dirimu. Dan aku masih mengingat, arti dari tatapanmu.”

Aku masihㅡ

Jungkook panggil nama Minhwa dengan suaranya yang berat nan serius. Ia memotong ucapan Minhwa dengan tegas, kendati ia tak ingin melakukannya. “Minhwa, aku sudah mengatakannya. Lupakan aku. Bahkan aku sudah menghapus nomormu, semua yang berkaitan denganmu. Kuharap kau juga begitu. Ini terakhir kalinya kita berhubungan lagi.”

Apa kau benar-benar sudah menghapusku dari hatimu, Jungkook?” lirih Minhwa di seberang sana membuat Jungkook tercekat. “Jika itu memang benar, kau harus menunjukkannya padaku.”

Double date.”

“D-double date?”

Ya. Kau dengan istrimu. Dan aku dengan suamiku. Tentukan saja hari dimana kau siap. Aku menunggu.” Percakapan itu diakhiri dengan sepihak, membuat Jungkook tertegun lamanya. Bahkan ia tak tahu, bahwa Minhwa sudah menikah. Lalu, apa maksud dari semua perkataan Minhwa tadi?

---oOo---


Tidak ada perihal yang membuatnya merasa tenang hari ini. Dirinya yang harus ke luar kota tiga hari, dan mendapat telepon dari Minhwa setelahnya yang membuat pikirannya tambah runyam. Kendati sudah kepulkan asap sigaret ke udara satu jam lebih, lantas tak dapat membuat hatinya merasa lebih tenang.

“Apa maksudmu, Hwa-ya?” monolognya sendiri, berada di kursi kemudi namun tak berniat untuk menjalankan mobilnya setelah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan Sungai Han. Sigaret yang sudah memendek masih terselip di jemarinya, mengepul keluar jendela mobil yang setengah terbuka. “Kau merindukanku, disaat kau sudah punya suami juga. Haha, cih.”

Menghisap sigaret sekali lalu membuangnya sembarang, Jungkook terkesiap saat nada dering ponselnya mengalun di atas kursi penumpang di sebelahnya. Nama Jung Hwayoung tertera jelas di layar ponsel, membuat Jungkook tersenyum getir. Apa yang ia harapkan? Jelas saja ia sudah mempunyai istri, mengapa masih mengharapkan hal yang tidak pasti. Lee Minhwa, bukan miliknya lagi.

“Halo,” sapa Jungkook dengan kikuk. Ia sedang merasa menyesal telah memikirkan sang mantan kekasih seharian dan melupakan istrinya dalam sekejap.

“200 ribu won.”

Ne?”

“Aku mengambil uangmu, kau meninggalkan uang 200 ribu won di atas nakas. Aku ingin memasak makan malam. Ada yang kau inginkan?”

Jungkook terdiam. Hatinya kian merasa bersalah, Hwayoung masih memikirkannya meski hanya hal sederhana. “Aku akan memakan apapun yang kau masak. Lagipula, uang itu memang untukmu. Kau tidak pernah meminta apapun padaku.”

Terjadi keheningan sesaat, hingga Jungkook berdeham untuk memecah keheningan tersebut. “Aku akan pulang lebih awal. Besok aku harus pergi ke luar kota selama tiga hari. Kita perlu membicarakannya.”

Sacred Promise isn't A GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang