Tentang Abang : bagian tujuh

562 102 0
                                        

Jaemin menatap rendah sosok yang kini hanya terdiam menelan semua cemooh sang Ibu. Terkadang hatinya ingin berlari kearah pundak sok tegar itu dan menghentikan semua ucapan sang ibu, namun apa dayanya? ego telah menguasai pemikirannya, sang ibu telah mendoktrin dirinya selama beberapa tahun belakangan ini.

Satu hal, ia menganggap Donghyuck payah karena tidak bisa melawan orang didepannya. Ia benci senyuman yang selalu terpampang jelas dibibir berbentuk hati itu, ia benci semua candaan yang terlontar darinya. Ia benci semua tentang Donghyuck. Ia juga membenci dirinya yang hanya diam disini.

Sejujurnya atau lebih tepatnya, dirinya bingung untuk melakukan apa yang harus dilakukannya?

Jaemin takut kemarahan ibunya berpindah padanya. Jaemin takut segala cemooh itu berpindah padanya. Jaemin hanya takut dan terlalu cemas jika semua itu terjadi padanya.

"Kenapa ga istirahat dikamar kamu?"

Jaemin tersentak, ia menoleh dan mendapati Papah yang baru saja keluar dari ruangan kerjanya. Mulutnya terbuka ingin menjawab pertanyaan yang terlontar padanya, namun terasa kelu.

"Kembali ke kamar kamu. Jangan lihat mereka. Sekarang juga, tanpa bantahan apapun, Jaemin," perintah Papah, mutlak.

Jaemin kembali mengatupkan bibirnya, ia menundukkan pandangannya ; beralih menatap lantai yang dingin dan berjalan menjauh dari sana, kembali ke kamarnya.

"Hei," panggil Papah dari lantai dua, memanggil dua orang yang kini berada di bawah.

"Masih mau lanjut? Bibir mu ga capek apa marahinnya? kupingku panas dengernya. Donghyuck, naik. Masuk kamar kamu."

Donghyuck menundukkan kepalanya dan berjalan menjauh dari sang Mama yang mencemooh dan memarahinya sedari tadi. Saat menaiki tangga ia berpapasan dengan sang Papa yang memberinya senyuman.

"Kenapa marah marah sih, Sayang? Ada apa? Ada yang mengganggu, hm?" tanya sang kepala keluarga sembari merangkul pundak istrinya itu dengan senyuman manis.

Mama yang mendapatkan perilaku seperti itu hanya mendengus dan berusaha untuk lepas dari rangkulannya.

"Sudah berani melakukan hal lebih ternyata kamu, ya?"

"Kamu sudah saya berikan peringatan sebelum kita kembali kesini. Apakah masih kurang? Uhuhu, kenapa bisa lupa, manis? Apa ada yang mendoktrin otakmu selain saya?"

Pria paruh baya itu mencengkram erat tangan yang bisa dibilang kurus itu dan menariknya masuk ke dalam kamar mereka.




——__(°=;=;=°)__——








Jaemin menatap pantulan tubuhnya di cermin. Sudah jelas, dirinya memiliki tubuh yang lebih besar dari kakaknya. Ia juga memiliki apa yang tidak dimiliki oleh Donghyuck. Jaemin menghela nafas, dirinya ini kurang bersyukur?

Bagi Jaemin, Donghyuck memiliki banyak hal. Walau tak lebih banyak darinya. Tapi ia iri dengan kakaknya, ia ingin semua yang dimiliki Donghyuck. Katakanlah ia egois, nyatanya memang Jaemin kini egois dan tertutupi rasa iri. Ia benci, karena Donghyuck tak pernah mengeluarkan keluhan irinya pada Jaemin dari bibirnya. Ia benci, sangat benci, karena Donghyuck selalu mengatakan ia ikhlas dan sangat bersyukur untuk semuanya. Dan, Jaemin lebih membenci Donghyuck saat ia memilih melampiaskan semuanya pada rokok dan motor kesayangannya itu.

Kepalanya menoleh kearah pintu kamarnya saat indra penciumannya mencium bau rokok yang menyengat dari sebrang kamarnya. Jaemin menghela nafas pelan, kini angannya mulai menebak, berapa banyak batang rokok yang sudah dihabiskan Donghyuck.

tiga? lima? tujuh? atau lebih dari sepuluh? atau justru ia telah menghabiskan semua rokoknya?

Ia menggelengkan kepalanya. Kakinya mengayun keluar dari kamarnya dan langsung berhadapan dengan pintu kamar Donghyuck. Tangannya ia bawa untuk mengetuk pintu bercat putih itu.

Tok tok tok!

"Siapa?"

"Jaemin."

Hening menyapa untuk beberapa saat setelah ia mengucapkan namanya. "Sebentar!" teriaknya dengan suara berisik didalam.

Ceklek!

Pintu terbuka dengan wajah Donghyuck yang berantakan dan rambutnya yang lepek. "Sorry, masih bau rokok. Jendelanya udah abang buka, sesek ya? Ab—"

Donghyuck terkejut saat Jaemin tiba tiba memeluk tubuhnya. Tangannya ia bawa untuk membalas pelukan itu dan menepuk punggung sang adik dengan kaku.

"Gapapa, Bang. Jangan minta maaf," gumam Jaemin yang masih terdengar oleh Donghyuck.

Senyum hangat terbit di wajah si sulung Lee. Hatinya menghangat, ia tidak kehilangan Jaemin seutuhnya. "Iya... Makasih, Dek," jawab Donghyuck tak kalah lirih dari Jaemin.

"Jangan pergi lagi dari abang, Na," lanjut Donghyuck lalu mengeratkan pelukannya. Setetes air mata jatuh pada pundak Jaemin.

Jaemin menganggukkan kepalanya, mengiyakan pernyataan Donghyuck. "Nana ga akan pergi lagi, Bang. Nana disini.". Mata indah itu ikut meneteskan air matanya. Sungguh, ia sangat merindukan sahabat sekaligus kakaknya. Ia tak sanggup jika harus kembali di jauhkan darinya.

Ia ingin egois, ia ingin mengajak sang kakak pergi jauh dari rumah dan kedua orang tuanya yang lebih mementingkan kedua ego mereka. Ia ingin lari. Jauh. Sejauh jauhnya dari pandangan orang tuanya dan keluarganya. Berdua, ia dan sang kakak.

Pada akhirnya, ia membenci dirinya yang penyakitan dan  hanya merepotkan lingkungan sekitarnya. Ia benci kesepian, ia takut kehilangan.






"Na, tunggu dan tahan sebentar lagi."










Tentang Abang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang