Jeno menghela nafas kasar. Ia di buat frustasi oleh sahabat tengilnya yang kini menghilang dari pandangannya selama 3 hari belakangan ini.
Semenjak perdebatannya dengan Donghyuck, Jeno tidak memiliki hubungan apapun dengan Donghyuck. Saat ia menelpon pun handphone pemuda itu tidak aktif, pesannya hanya tertulis 'terkirim'. Dirinya bertambah frustasi saat Bunda atau Ayah bertanya kemana Donghyuck? Kenapa ponsel Donghyuck tidak aktif? dan lain sebagainya.
Jeno hanya terdiam saat kemarin Bunda kembali dengan wajah panik dan matanya yang akan segera menitikkan air mata. Donghyuck tidak ada dirumahnya. Itu yang diucapkan Bunda. Ayah bahkan sudah menyogok sekolah untuk membocorkan informasi tentang Donghyuck yang tiba tiba menghilang, tapi sogokan pun tak mempan karena sekolah juga tidak tau kemana pemuda itu sekarang berada.
.
.
.
Disisi lain, jauh dari hiruk periuk kota, Donghyuck terduduk di pasir pantai menikmati matahari yang kini akan segera terbenam dengan bulan sebagai penggantinya. Sekaleng soda yang isinya kini tinggal separuh itu ia minum hingga menyisakan setetes saja. Ia remas kaleng itu menyalurkan emosinya. Desahan kasar ia keluarkan dari mulutnya, tangannya kini meraba saku belakang celananya. Sibuk mencari sebungkus rokok dan korek api.
Ia menggambil sepuntung rokok kemudian memandang rokok dan korek api ditangannya. "Emang sahabat terbaik gue itu cuma elu sama mimin." celetuknya sembari membuka lapisan luar rokoknya dan menyalakannya. Ia menghisap dan mengeluarkan asap rokoknya dengan nikmat.
"Dulu, gue ga suka kalau Papa ngerokok tapi sekarang gue malah pemakainya." Donghyuck terkekeh setelah menyelesaikan ucapannya. Ia kembali memandang ujung rokoknya yang kembali mati karena angin pantai.
"Lo lemah, gitu ae mati." ujarnya pada rokok ditangannya. Ia menghela nafas lalu menaruh rokok itu pada bungkusnya dan kembali mengantonginya.
"Gue mau ketemu Jaemin ae kayak mau ketemu Bu Sus, susah. Tapi Bu Sus besoknya gue bisa ketemu, kalau Jaemin ga tau kapan atau mungkin ga akan pernah ketemu," keluhnya pada riuh deburan ombak.
Donghyuck menatap lamat ombak senja kala itu. Pikirannya sekarang sedang ramai, baik itu tentang Jaemin, kedua orang tua kandungnya, keluarga Jeno, dan sekolahnya. Apakah orang tuanya akan panik jika ia sudah menghilangkan diri dari mereka selama 3 hari? atau mereka tidak peduli?
Munafik.
Munafik jika Donghyuck tidak pernah iri pada Jaemin. Nyatanya dulu hingga sekarang tak jarang dirinya menghela nafas pertanda ke-iri-annya. Dirinya juga seorang anak, saat itu pula ia masih kecil, bukankah ia juga memerlukan kasih sayang orang tuanya juga? Dadanya begitu nyeri saat ini, tidak ada luka fisik yang tertampil, hanya luka batin. Tangan kanannya mengelus dadanya, mencoba menetralisir sakitnya. Kepalanya ia tundukan dengan mata terpejam.
"Ga usah nangis, lebay," ucapnya untuk diri sendiri.
"Nangis aja, gak apa apa. Jangan di pendam lagi, kasihan sama diri sendiri."
Donghyuck menggelengkan kepalanya, ia menjatuhkan kaleng soda ditangan kirinya dan berpindah untuk meremas rambutnya.
"Gak." Donghyuck semakin menundukkan kepalanya. Elusan di dadanya kini berubah menjadi pukulan, remasan di rambutnya mulai membuat rambutnya rontok; nafasnya memberat, setetes air mata mulai turun dari matanya.
"Gue bilang jangan!"
"Jangan paksakan diri, Hyuck. Diri ini juga perlu dikasihani. Kamu ga bisa terus terusan pendam semuanya sendiri! Sekarang, keluarin. Keluarin tangismu."
Donghyuck terdiam, membiarkan setetes demi setetes air matanya jatuh dan membasahi pasir pantai. Ia kalah dalam perdebatan dengan dirinya sendiri.
Sore itu, di pantai favorit Jaemin dulu, ia melepas topengnya. Berubah menjadi Donghyuck yang lemah dan kekanakan. Tidak ada sosok Donghyuck yang selalu tertawa riang dan kuat disana. Hanya kerapuhan yang bisa dilihat. Karena pada dasarnya, ia tidak sekuat itu.
=====
Jaemin menghela nafas pelan, sesak di dadanya tidak kunjung menghilang. Matanya berembun, hatinya tiba tiba seperti dijatuhi batu besar. Ia tidak paham, ada apa dengan dirinya? Kenapa sesak tiba tiba selalu datang? Kenapa rasanya lebih sakit?
Di otaknya kini bersemayam nama Donghyuck yang terasa familiar. Siapa Donghyuck? Tidak mungkin seorang klien bisa menelfon Mamanya hingga belasan kali, bukankah itu tidak sopan?
Ia kini merindukan sosok yang selalu merengkuhnya dulu walau ia tidak ingat jelas siapa dia. Hanya bibir berbentuk love yang selalu mengucapkan kata semangat dan penenang serta pelukan hangat setiap ia merasakan 'kesakitan' baik itu karena penyakitnya atau lainnya.
Air matanya kini menetes. Sesak berganti perih. Matanya memandang langit malam seolah berharap bisa bertemu.
"Abang dimana? Nana kangen... Kenapa abang ninggalin Nana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Abang ✓
Fanfiction"Abang, kenapa bumi bulat?" tanyanya kala itu pada Donghyuck yang berusia 12 tahun. Keduanya kini sedang berbaring di atas rerumputan, menikmati indahnya bulan yang ditemani dengan bintang di sekelilingnya. "Karena itu takdir Tuhan." jawab Donghyuck...