Tentang Abang : bagian lima

574 106 2
                                        

Jaemin dan Donghyuck kala itu baru berumur 8 tahun dan 11 tahun yang sedang berboncengan menaiki sepeda mengelilingi halaman rumah mereka. Donghyuck tidak berani untuk membawa Jaemin keluar dari rumah. Ia takut adik kesayangannya itu collapse dan kembali merasakan sakit dengan dia yang hanya bisa panik dan khawatir tanpa bisa membantu.

"Abang," panggil Jaemin pada Donghyuck.

"Kenapa?"

"Memang dunia di luar rumah itu gimana, Bang? Kata Papa, dunia luar itu jahat banget! Emang iya, Bang?" tanya Jaemin.

Donghyuck menggelengkan kepalanya tidak tau. "Yang Abang tau cuma satu, dunia luar itu kejam dan indah di saat yang bersamaan, Dek," jawab Donghyuck seadanya. 

Jaemin menganggukkan kepalanya. "Bang, sekolah sama punya temen itu enak ya? Ga sendirian terus... Nana mau punya temen..." Jaemin kembali berujar dengan polos.

Donghyuck hanya diam. Ia bingung harus membalas kata kata adiknya itu.

"Abang! Cita cita abang mau jadi apa? Kalau Nana mau jadi pemilik perusahaan!"

Donghyuck menimang, ia tambah bingung. Apa cita citanya? Apa impiannya?

"Mau jadi Dokter."

Jaemin menaruh kepalanya di pundak sang kakak. "Kenapa Abang mau jadi dokter?" tanya Jaemin lagi.

"Biar Abang bisa sembuhin Nana," jawabnya.

Mata Jaemin berbinar. "Abang beneran harus bisa sembuhin Nana ya!" seru Jaemin.

Donghyuck menganggukkan kepalanya setuju. Jaemin yang melihat respon kakaknya itu memeluk dengan erat pinggang sang kakak. "Ayo Abang sama Nana semangat!!" teriak Jaemin menggema di halaman rumah kala itu.

.

.

.

Donghyuck menatap tumpukan baju kotornya malas. Baru juga seminggu lebih empat hari ia tidak menyuci pakaiannya, tapi sudah menggunung saja. Dengan langkah gontai ia membawa keranjang yang berisikan pakaian kotornya ke belakang rumahnya dan mulai menyuci bajunya. Memasukkan baju di mesin cuci bersamaan dengan air yang mulai mengisi mesin cuci itu, memberinya sabun lalu memutar wash timer ke angka 15. Sembari menunggu, ia mengambil jemuran kering yang ia angin anginkan selama seminggu belakangan ini dan memasukkannya ke tas jinjing besar untuk ia masukkan ke laundry.

Ia berjalan masuk kembali ke dalam rumah dan mengecek dapurnya yang berantakan dan wastafel yang juga penuh akan piring dan alat makan lainnya yang kotor. Donghyuck menghela nafas panjang. "Ya, liburan untuk bersih bersih rumah." gumamnya lalu mulai membersihkan rumah penuh kenangannya itu.

Setelah kurang lebih lima jam ia membereskan dan membersihkan rumah, ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang sudah sangat asam. Selesai mandi dan telah menggunakan baju rumahnya, Donghyuck kembali merebahkan dirinya di kasur.

Bersih bersih rumahnya kini masih sepi, tidak ada teriakan si bungsu, ocehan sang mama, dan hela nafas papa yang bosan mendengar keduanya. Donghyuck menatap jam dinding kamarnya yang menunjukkan jam satu siang dan ia belum makan sama sekali.

Tubuhnya ia bawa ke belakang rumah, mengambil tas berisi cucian kering lalu keluar dari rumahnya, tak lupa ia mengunci semua pintu rumah. Ia masukkan kuncinya dalam saku celananya lalu mulai berjalan ke laundryan favoritnya dan ke rumah makan Simbah. Memesan makanan yang ada lalu memakannya dengan khidmat lalu bergegas membayarnya dan kembali ke rumah. Ia ingin cepat cepat tidur, dirinya lelah.

Donghyuck berjalan santai saat menuju kerumah, sesekali ia menyapa tetangga tetangganya yang ia jumpai. Langkahnya ia percepat saat melihat dua sosok familiar dengan koper besarnya berada di depan gerbang rumahnya.

Matanya berbinar kala melihat keduanya. "Ma—"

"Kamu kemana aja hah?! Ga liat kita lagi ribet?! Cepet buka gerbangnya! Sekalian bawain kopernya!" perintahnya mutlak.

Donghyuck tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Tangannya ia arahkan untuk membuka pagar dan memberikan kunci lainnya pada wanita cantik di depannya. Ia berbalik pada koper koper besar dihadapannya dan satu pria tampan dan tinggi yang Donghyuck yakini, dia adalah Lee Jaemin, adik kesayangannya. Senyuman Donghyuck ia pajang lebih lebar.

"Nana nya Abang udah besar ya?"

"Masuk aja duluan bareng Mama. Kopernya biar a—"

"Iya, tolong ya... tangan saya tidak kuat soalnya, maaf sekali..." ucapnya pada Donghyuck yang mematung setelah mendengar ucapannya, lalu pergi masuk terlebih dahulu kedalam rumahnya.

"Selain tambah besar, ganteng, tinggi, kamu juga lupa sama Abang ya, Na?" lirih Donghyuck.

=====

Pagi ini Donghyuck bangun dengan semangat dimatanya. Tidak seperti biasanya yang selalu kosong, kini dia memiliki lebih banyak energi karena ia tidak sendirian lagi dirumah ini.

Ia mengambil tasnya dan bergegas keluar kamar menuju ke ruang makan dan melihat beragam makanan di meja makan. Donghyuck rindu masakan mamanya. Ia melihat Mama sedang memasak sarapan lainnya. Dengan senyuman terpajang di bibirnya, Donghyuck berjalan mendekat ke Mama dan menyapanya, "Pagi, Ma."

Mama berdengung. "Makan roti yang ada di meja. Makanan yang Mama masa cuma buat tamu yang nanti kesini. Jangan dimakan, takut kurang," ujar Mama.

Donghyuck menganggukkan kepalanya, tangannya terulur untuk menuangkan air putih di tangannya. Ternyata ia tidak memakan masakan Mamanya, tapi tak apa. Mama sudah buatkan roti untuknya. Itu sudah lebih dari cukup. Ia meneguk air putihnya tak tersisa.

"Langsung berangkat aja, Mama lagi ribet."

"Iya, Donghyuck berangkat dulu."

Donghyuck melangkah menjauh dengan roti dimulutnya. Ia menggunakan sepatunya dan memanasi motornya sebentar lalu mengendarai motornya ke sekolahan.

Ya, setidaknya ia memakan roti yang disiapkan oleh sang Mama. Rindunya kini sedikit terobati. Donghyuck sudah sangat bersyukur.

Tentang Abang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang