Tentang Abang : bagian dua

672 119 8
                                        

Kalau disuruh memilih, Donghyuck lebih memilih dirinya yang sakit di bandingkan adiknya. Hatinya sakit mendengar rintihan adiknya saat sedang menelepon ibunya. Sekarang ia tau, kondisi adik satu satunya itu memburuk. Bingung dan panik tercampur begitu saja di pikiran Donghyuck. Tangannya terus men-dial nomor sang Papa.

"Angkat, Pa... adek kesakitan..." ujarnya melirih. Ia tidak bisa berfikir jernih, matanya memanas.

"Kenapa ga diangkat?!" teriaknya frustasi.

Drrt!

Donghyuck langsung membuka bubble chat yang muncul di handphonenya.

Mama

|Jaemin udh ga knp np.
|stop telpon papa.

iya, ma...|


Donghyuck kembali merilekskan tubuhnya. Hatinya sedikit tenang setelah mendapatkan chat dari mamanya. Setidaknya, untuk hari ini.

=====

Jaemin mendudukkan dirinya di atas kasur besarnya itu sekarang. Ingatannya berputar saat sakitnya kambuh kembali dan handphone mamanya itu berdering dengan nama kontak 'Donghyuck' terpampang jelas disana. Ia merasa familiar dengan nama itu.

ceklek!

Pintu kamar itu terbuka, menampakkan sosok wanita cantik awet muda yang sebentar lagi akan berkepala empat berjalan kearah Jaemin dan mendudukkan dirinya di pinggiran kasur besar itu. Tangan lentiknya mengelus lembut surai hitam Jaemin.

"Gimana? Udah mendingan?" tanyanya.

Jaemin menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dan menerima elusan lembut darinya.

"Tidur lagi aja, nanti Mama bangunin pas udah makan malam," ujarnya.

"Aku ga bisa tidur lagi.

Ma, Donghyuck siapa?" tanya Jaemin begitu saja pada sang Mama.

Mama terdiam sebentar lalu tersenyum. "Cuma klient mama disini. Ya udah, kamu bisa mainin ponsel kamu atau apapun yang kamu mau tapi jangan kecapekan ya?"

Jaemin menganggukkan kepalanya lagi sebagai jawaban.

"Mama turun ya? kalau ada apa apa atau kamu mau sesuatu panggil mama aja."

Lagi, Jaemin menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Mama melebarkan senyumannya lalu pergi dari kamar Jaemin, tak lupa ia menutup pintu putra kesayangannya itu dan pergi kedapur.

"Donghyuck..."

=====

Jeno menatap malas Donghyuck yang kini hanya merebahkan diri di karpet kamarnya. "Lo kalau cuma mau numpang tidur sama berak mending balik dah," celetuk Jeno.

"Gue pengen kerja..."

Mata Jeno membola. "Apa lo bilang?!"

Donghyuck menghela nafas pelan. Ia mendudukkan dirinya. "Gue pengen kerja, Jen. Biaya kuliah gue nanti mahal kan?" tanyanya.

"Ga usah ngadi ngadi kerja juga, Hyuck. Lo ae cuma punya ijazah SMP. Kita udah kelas akhir, Hyuck. Mending fokus sama kelulusan," ujar Jeno yang kesal dengan pertanyaan sang sahabat.

"Gue udah cukup pintar. Seenggaknya gue ada dibawah lo terus."

"Ga ada niatan ngalahin gue dan jadi peringkat pertama gitu?"

Donghyuck menggelengkan kepalanya. "Lo ae, mak bapak gue ae ga peduli sama nilai gue. Gue sekolah cuma buat kebutuhan gue sendiri sekarang dan ga peduli gue ranking berapa," jelas Donghyuck pada Jeno.

"Jen, setel Iris yang nyanyi Michael Constantino dong, bi."

"Lo kira gue babu lo?"

"Iya. Kenapa? Ga laik? Bunda bersabda, "Barangsiapa diantara Jeno atau Jisung yang membantu Donghyuck tanpa pamrih maka orang tersebut akan Bunda anggap anak Bunda." terus, Ayah bersabda, "Donghyuck dulu baru kalian, anak Ayah cuma Donghyuck." Seperti itu saudara Lee Jeno."

"Anak Jancvk."

Donghyuck tertawa kencang mendengar umpatan dari Jeno yang tetap melakukan apa yang Donghyuck perintahkan. Donghyuck kembali merebahkan dirinya pada karpet tebal di kamar Jeno.

"Jen," panggil Donghyuck kembali yang kini dibalas deheman oleh Jeno.

"Gue kangen Jaemin. Tadi gue denger dia meringis di telfon," ujar Donghyuck sembari menatap langit langit kamar Jeno. "Sakit juga, Jen, dengernya. Coba gue ada disana."

Jeno terdiam dan memilih mendengarkan ocehan sahabatnya itu tentang adiknya. Ia tidak ingin memberi saran atau berbicara apapun lagi jika sahabatnya itu bercerita karena ia tak pernah berada di posisi Donghyuck. Dirinya hanya mendengarkan dan menonton kehidupan Donghyuck.

"Kenapa Mama sama Papa jauhi gue dari Jaemin? Gue berpengaruh buruk buat dia? Gue ga pernah iri sama kasih sayang Mama Papa ke Jaemin, Jen. Gue ga pernah iri sama Jaemin, tapi gue iri sama Mama sama Papa yang bisa sama Jaemin. Jagain Jaemin disana. Gue... juga pengen jagain dia. Bahkan gue rela kasih jantung gue buat Jaem—"

"Stop disitu, Hyuck," ucap Jeno memotong perkataan Donghyuck. "Lo bisa korbanin semuanya buat Jaemin, tapi ga buat hidup lo!" suara Jeno mulai meninggi.

Donghyuck terdiam. Ia terkejut, jujur saja baru pertama kali ini ia mendengar Jeno menaikkan suaranya dan kini ia sedikit... takut.

"Gue juga abang, Hyuck. Tapi ga gitu caranya, sialan!"

Donghyuck kembali menghela nafas pelan. Ia berdiri dari aktivitas tidurannya di karpet sahabatnya. Mengambil tasnya dan memakai kembali jaket denim nya. "Lo ga akan ngerti jadi gue, Jen. Ga akan pernah. Memang mungkin hidup lo ga sempurna sempurna amat, tapi keharmonisan kelurga lo selalu bikin iri orang lain. Gue ga muna, gue part of orang yang iri sama keharmonisan keluarga lo.

kita beda jauh disini, walaupun kita sama sama abang. Tapi Jisung ga sakit kayak Jaemin. Jisung normal dan Jaemin enggak. Jangan samain gue sama lo, Jen. Kita beda."








Donghyuck berjalan keluar kamar. Sejenak, langkahnya berhenti di pintu kamar Jeno. "Gue balik, titip salam buat yang lain," ucapnya lalu menghilang pergi dari kamar Jeno.

Tentang Abang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang