Jaemin membuka matanya dengan peluh sudah bercucuran di dahinya. Dinding bewarna putih tulang dengan sebuah televisi terpasang disana menjadi hal pertama yang ia lihat. Matanya mengerjap, dirinya mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Ia sadari, tangannya di infus.
Hah... rumah sakit lagi.
Sepi. Tidak ada seorangpun disana kecuali dirinya. Ia memutar ulang memorinya, bagaimana ia bisa berada dirumah sakit dan tertidur di brankar ini.
Ia lepaskan infus ditangannya sembari meringis pelan saat secuil ingatan tentang bagaimana ia berakhir disini datang. Ia berjalan keluar ruangannya menuju ke unit gawat darurat di rumah sakit ini. Langkahnya ia percepat, tombol lift itu ia tekan tak sabar. Pintu lift terbuka, ia segera memasuki lift dan menekan kembali tombol tombol itu tak sabar.
Peluh sudah bercucuran di dahinya bercampur dengan air mata yang mulai menuruni pipinya.
Saat pintu lift terbuka kembali, ia berjalan dengan langkah cepat lagi. Tak memperdulikan darah yang bercucuran dari bekas infusnya dan rasa pening di kepalanya yang semakin terasa.
"Papa," panggil Jaemin saat melihat tubuh tegap itu disana.
"Jaemin? Kenapa ada disini? Tunggu— hey! tanganmu! Suster!"
"Abang... Abang gimana?!"
"Masih didalam. Kita hentikan darah di tanganmu dulu."
Jaemin menghela nafas pelan, ia sedikit tenang mendengar sang kakak masih disana. Walau mungkin, kondisinya tak jauh berbeda dari saat ia memasuki rumah sakit ini. Seorang perawat datang untuk menghentikan darah yang terus keluar dari punggung tangan Jaemin. Ia didudukan pada kursi yang ada disana; tubuhnya bersandar pada sandaran kursi kala pusing masih menyerang kepalanya; bibir pucatnya tak berhenti untuk terus merapalkan doa untuknya yang berada di dalam ruangan UGD itu.
Sudah dua jam ia menunggu disana dan Renjun yang tadinya pergi ke kantin rumah sakit telah kembali dengan sebotol air putih untuk Jaemin. Manik coklatnya terus menatap pintu UGD dengan penuh harap. Waktu terasa sangat lambat saat ini. Papa hanya terus mondar mandir di depannya dan Renjun yang menatap pintu UGD sama seperti Jaemin; penuh harap.
Lampu yang berada di UGD berganti menjadi warna hijau. Dokter yang menangani dengan seorang perawat dibelakangnya keluar dari ruangan itu dengan wajah letih dan lesu mereka. Mereka yang menunggu berdiri tegap. Sudah dapat dipastikan dan tertebak oleh mereka yang menunggu, kalimat yang akan diucapkan sang Dokter.
Gelengan diberikan dari Dokter kepada mereka.
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin, Tuhan lebih memilih untuk membawanya," ujarnya.
Kaki Jaemin melemas, bahu tegap Papa meluruh, dan Renjun hanya menatap kakinya. Jaemin menggelengkan kepalanya, ia berteriak memanggilnya dengan kencang; tak perduli dengan dimana ia sekarang; tangannya ia bawa untuk meremas rambutnya hingga beberapa helai rontok. Jaemin menahan sakit di dada kirinya; ia memaksa untuk masuk ke dalam ruangan itu dan memeluk tubuh yang telah kehilangan kehangatannya.
Ia tak bisa, ia tak bisa kehilangan Donghyuck. Bagaimana bisa Tuhan hanya mempertemukannya sebentar dengan Donghyuck?! Dirinya mencaci maki Donghyuck.
"Abang bilang cuma mau kerumah Jeno sebentar?!! Bangun, Bang!! Janji abang buat ada sama Jaemin mana?!! Abang jahat!"
Bibirnya terus memanggil nama Donghyuck, menyuruhnya untuk bangun. Ia terus meraung disana hingga kegelapan datang padanya.
Papa yang sedari tadi melihat Jaemin hanya terdiam. Air matanya turun saat melihat Jaemin kembali tak sadarkan diri di samping tubuh Donghyuck. Tidak, tidak, dan tidak. Ia tidak bisa jika kehilangan kedua putra terkasihnya. Ia membentak seluruh tenaga medis disana untuk cepat memberi pertolongan pada Jaemin.
Mama disana dengan raut wajah yang tidak bisa dibaca, ia baru saja datang dan melihat bagaimana kacaunya Jaemin dan suaminya itu. Renjun yang tidak berani ikut masuk hanya tersenyum miris. Ia membungkukkan tubuhnya pada Ibu dua anak itu dengan air matanya yang terus menetes. Jonathan, Wendy, Jeno beserta keluarga, dan Jaya disana.
Bunda di ikuti Jeno sudah lari masuk ke ruangan dimana Donghyuck berada dengan air mata terus mengalir di kedua pipinya.
Diujung lorong itu, Donghyuck tersenyum lebar dengan hati yang tersayat melihat mereka semua. Ia menutup matanya bersamaan ditutupnya lembaran kisahnya.
Pada akhirnya, Donghyuck meninggalkan Jaemin dan menyerah pada semesta. Ia menyerah untuk mencari validasi semesta yang tak kunjung ia dapatkan. Tuhan kini telah memberikannya ketenangan yang tak unjung diberi oleh semesta.
Kisahnya telah usai dengan sedikit memori yang ia berikan disini. Sedikit tentang Jaemin; sedikit tentang Mama dan Papa; sedikit tentang Jeno; sedikit tentang Bunda dan Ayah; sedikit tentang penghuni cafe dan sedikit tentangnya.
END.
![](https://img.wattpad.com/cover/283750846-288-k540728.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Abang ✓
Fiksi Penggemar"Abang, kenapa bumi bulat?" tanyanya kala itu pada Donghyuck yang berusia 12 tahun. Keduanya kini sedang berbaring di atas rerumputan, menikmati indahnya bulan yang ditemani dengan bintang di sekelilingnya. "Karena itu takdir Tuhan." jawab Donghyuck...