Tentang Abang : bagian empat

536 106 0
                                    

Setelah menghilang tanpa kabar selama 3 hari, Donghyuck kembali ke rumahnya dengan sambutan kemarahan yang bercampur dengan ke-frustasi-an Jeno, kekhawatiran Bunda, senyuman lega Ayah, Jisung yang memukulinya pelan, dan rentetan serta panggilan tak terjawab dari Papa.

Kini, ia kembali melakukan aktifitasnya seperti biasa. Pergi ke sekolah, mengikuti kelas tambahan dan les, dan malamnya ia pergi ketempat yang sempat ia singgahi beberapa hari yang lalu.

kling!

"Malam, Bang!" sapa Donghyuck dengan ceria.

Sosok jangkung dengan celemeknya itu melihat ke arah pintu cafe yang dibuka dengan Donghyuck. Pria itu tersenyum dengan tatapan teduh mengarah pada Donghyuck yang masih mengenakkan seragam sekolahnya.

"Cafe bentar lagi rame, Hyuck. Lo istirahat dulu aja, Jaya juga bentar lagi dateng," ujarnya lembut pada Donghyuck.

"Gue tadi udah tidur di taxi yang lo pesen tadi, Bang. Gue ganti baju aja dah."

"Istirahat aja, Hyuck. Kak Jo sama aku masih cukup kok buat sekarang. Nanti kalau ramaian atau kamu udah cukup energinya, baru boleh join. Kamu habis kelas tambahan sama les, capek pasti..." ujar sosok lain, satu satunya wanita di antara mereka, Wendy.

Mulut Donghyuck kembali terbuka, namun sudah di hentikan lebih dahulu oleh Jonathan, "Turutin aja, Hyuck. Kakak kesayanganmu itu lagi PMS. Gue ga mau kalau dia udah ngamuk. Urusan per-kasir-an bisa ribet."

Donghyuck menghela nafas, ia menganggukkan kepalanya dan mendapatkan usapan lembut dari Wendy serta tepukan di bahunya dari Jonathan.

"Ya udah, gue ke kamar dulu. Mangat kalian!" ucap Donghyuck menyemangati keduanya lalu pergi ke kamar–ruangan kecil dengan satu kasur dan lemari disana untuk peristirahatan Donghyuck dan Jaya–lalu menidurkan dirinya.

Ia menatap langit langit kamar yang dari anyaman bambu dengan hiasan lubang lubang kecil disana itu lamat. Dirinya berfikir, sudah berapa lama langit langit kamar itu ada? apakah lebih tua darinya? mengingat perkataan Jonathan yang membeli tempat ini pada seorang kakek kakek dengan harga murah.

Donghyuck memejamkan matanya, mencoba untuk berhenti berfikir hal hal yang sekiranya tidak perlu.

=====

Jeno memandang kopi di depannya dengan kilatan emosi di matanya. Emosinya kini meluap setelah mendapati sahabatnya itu berada di cafe yang kini ia tempati. Jeno merasa tidak berguna dan gagal menjaga lelaki yang selalu bersamanya itu.

Pandangannya kini ia alihkan pada Donghyuck yang baru saja mendudukkan dirinya pada kursi di depannya dengan apron yang masih terpasang apik di tubuhnya. "Jelasin," ucap Jeno dengan tegas.

Donghyuck menghela nafas pelan. "Gue disini cuma bantu Bang Jo sama Kak Wendy, ga lebih," jelasnya pada sang sahabat.

"Alasan. Lo di bayar, Hyuck. Bahkan lo ngajuin proposal kan?"

Donghyuck terdiam.

"Lo lupa Bang Jaya masih saudara sama gue? Hyuck, gua, Bunda, Ayah, sama Jisung udah anggap lo sebagai keluarga, keluarga utuh. Lo udah di anggap anak sama Bunda sama Ayah, bahkan gue sama Jisung aja kalah sama lo. Lo bis—"

"Ga bisa," celetuk Donghyuck memotong perkataan Jeno. "Gue ga bisa, Jen. Udah cukup gue jadi beban buat kalian. Gue juga capek kalau setiap hari harus diam di rumah dan ingat semuanya. Tentang Jaemin, Papa Mamah, dan gue. Seenggaknya, kasih gue jeda buat bernafas. Jen, lo ga di posisi gue, lo ga akan paham," jelas Donghyuck dengan menatap tajam mata Jeno. "Kalau lo cuma mau ngerusuhin gue disini, mending lo balik ae. Gue masih harus bantu bantu," ujar Donghyuck lalu berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan Jeno sendirian disana.

Jeno mengacak rambutnya kasar setelah kepergian Donghyuck. Ia menghela nafas kasar, perkataan Donghyuck benar. Ia tidak berada di posisinya, harusnya ia memberi support untuk sahabatnya. Harusnya juga, ia menjadi sandaran dan memahaminya.

Ting!

Jeno membuka ponselnya dan mendapati pesan dari Donghyuck.

Item dekil has sent you a massage.

Item dekil

|kasih jarak dulu, Jen.
|emosi kita lagi ga bagus.
|gue harap lo paham.
|gue lagi butuh waktu sendiri.
read.

Jeno kembali menghela nafasnya. Ia melihat sahabatnya yang kini sedang berada di belakang meja kasir melayani para pembeli yang kian banyak berdatangan. Salahkah Jeno disini? Jeno hanya menginginkan hal terbaik untuk sahabatnya. Memasuki universitas impian mereka bersama dan menggapai cita cita mereka berdua.

"Kita lupa sama janji kita ya kan, Hyuck?" gumamnya bertanya pada angin.

Jeno mengalihkan pandangannya, kembali pada secangkir kopi dihadapannya. "Bunda bener, gue terlalu egois dan keras kepala buat lo."

Jeno meneguk kopinya dalam sekali tegukan. Sesal dalam dirinya kini mendominasi. Harusnya ia lebih pengertian dan mensupport sahabatnya. Iya, harusnya seperti itu. Jeno memakai jaket yang tadinya ia sampir kan di kursi sampingnya, mengantongi handphonenya, dan pergi dari cafe itu.

Sedikit angin malam akan membantu, pikirnya.

Tentang Abang ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang